Tuesday, June 9, 2009

Uwen Uwen

Sejak ada keponakan kecil ini, Uwen,
(pengucapan nama Aurell, meniru lidah kecilnya),
aku jadi begitu tertarik memperhatikan bahasa dan perasaan bayi.

Semasa ia masih dalam perut, kami sekeluarga bersepakat

untuk tak ikut-ikutan cadel bila bicara padanya demi membiasakan lidahnya untuk bicara dengan jelas.
Oleh Mamanya, tak seorang pun boleh bicara dalam bahasa bayi, misalnya cucu untuk susu.
Toleransi cadel satu-satunya hanyalah dalam menyebutkan namanya saja, Uwen.

Hal yang menarik saat bicara dengan bayi adalah ketika mendengar kata-kata imut terlontar dari mulut kecilnya. Rasanya memabukkan dan merdu, ketimbang mendengar pengucapan (sok) imut dari mulut orang (perempuan) dewasa yang mencoba menyebut sakit dengan atit, atau takut dengan atut.
Yekz ...

Tapi walaupun sudah dari ia lahir aku tinggal bersamanya, telingaku ini masih saja belum terlatih. Aku mencatat ada beberapa kekeliruan fatal saat berkomunikasi dengannya.

Kekeliruan pertama dan terbesar, waktu itu Uwen baru berumur 1 tahun 7 bulan. Suatu pagi, ia masuk ke kamarku. Saat itu aku sedang berdiri membaca-baca di depan rak buku.
"Tante, Tante." Panggilnya dari belakangku.
"Ya...?" Jawabku tanpa berpaling ke arahnya.
"Tuit, Tante. Minta tuit."
"Haa...?!" Aku menolehkan kepala, tapi tetap tak membalikkan badan.
"Uwen minta tuit, Tante." Katanya sambil menarik-narik saku jeans-ku. Ia menarik secarik kertas kecil yang kuselipkan di sana entah kapan.
Aku berpaling, "Tuit?"
"Tuit." Ia mengangguk.
"Duit? Buat apa Uwen minta duit?" Aku kaget.
"Tuit, Tante."
"Buat apa?"
"Ajan."
"Yayang minta duit buat jajan?!"

Aku terkesiap lebay.
Uwen balas memandangku dengan tatapan aneh.

Tanpa bermaksud mengadu, dengan bersemangat aku mencari Mamanya.
"Kran, Uwen kok udah bisa minta duit? Katanya buat jajan?!"

Kakakku, Krany, tak kalah kaget. Lalu...
"Uweeen, @^*%^*?<"^:}{(%&)@%"

Uwen diinterogasi ulang oleh Mamanya, dan ia masih menjawab sama, "Minta tuit, buat ajan."
Ia hanya mencemberutiku, dan memandang Mamanya dengan aneh ketika Kakakku ini berceramah tentang anak kecil yang belum pantas tahu duit atau jajan. Ditambah lagi raut mukanya menampakkan kebingungan yang sangat tatkala ia ditanya siapa yang mengajarinya minta duit. Ia tak mau mengaku, dan masih saja cemberut. Alhasil sebuah sentilan mendarat di telinganya. Hebatnya, ia tak menangis.

Aku kedengaran jahat, kan?
Oh, belum.
Tunggu sampai kau dengar cerita lanjutannya.

Beberapa hari kemudian di pagi yang lain, Uwen ke kamarku lagi. Ia menunjuk sesuatu di atas lemari kecilku dan berseru.
"Tuit, Tante. Uwen mau ajan."
"Duit?"

Lagi?
Dalam hatiku, setelah diberi pelajaran ia tetap meminta begitu?
Aku penasaran, sesuatu di kepalaku memberitahu bahwa ada yang salah. Aku mengambil uang logam 500 perak dari atas lemari itu dan kutunjukkan padanya.
"Ini?"
"Itu, tuit." Jawabnya, sambil terus menunjuk ke atas lemari.
Aku makin penasaran, sambil terus mengacungkan uang logam itu aku bertanya lagi, "Kalau ini namanya apa?"
"Uam." (= uang)
Kuambil uang lembaran 5000-an, dan kutanya lagi, "Kalau yang ini?"
"Uam."
"Terus yang Uwen minta apa, Yang?"
"Tuit, Tante. Itu."

Kugendong ia mendekati lemari, dan kutanyakan barang apa yang dimaksudnya. Ternyata, yang ditunjuknya adalah pulpen dan kertas.

Oh My God!
Jika ada yang namanya fitnah anak kecil, maka aku telah melakukannya.
Ternyata.
"Minta tuit, Tante, Uwen mau ajan."
sama dengan,
"Minta tulis, Tante, Uwen mau belajar."

Ah, sayangku. Maaf.
Langsung aku mengadu pada Krany, dan ia pun bereaksi sama, langsung memeluk cium dan minta maaf pada anaknya.
Bagaimana reaksi Uwen?
Biasa saja, ia bahkan terlihat bingung kenapa kami dengan heboh memeluknya dan berkata maaf.

Mungkin dalam hatinya ia berkata, "Aneh betul orang besar ini, apa-apa dilebih-lebihkan. Aku cuma mau belajar saja, yang adalah hal baik dan menakjubkan, malah dimarah."

Entahlah.
Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Apa yang ia rasakan?

Inilah misteri yang masih juga selalu membuatku penasaran.
Rasanya mudah untuk mengajarkan pada bayi tentang kata benda dan kata kerja. Tapi lebih sulit untuk mengajarkan pada mereka tentang kata sifat.
Bukan tentang sesuatu yang bernama biru hijau kuning pink.
Tapi sesuatu yang bernama capek, mengantuk, lapar, haus, dan ingin pipis.

Tentu setelah mereka semakin besar, lambat laun mereka akan mengerti.
Aku mencatat beberapa hal yang lucu sekaligus tidak menyenangkan menyangkut proses pembelajaran Uwen pada hal yang bersifat merasa ini.

Waktu ia masih bayi yang belum bisa bicara, tentu seperti bayi-bayi lain, Uwen akan menunjukkannya dengan menangis.
Lapar menangis.
Haus menangis.
Ngantuk menangis.
Basah menangis.

Sekarang ? Ia sudah bilang "mamam" bila ia lapar.
Ia bilang "menum" bila haus.
Ia pun akan merebahkan badan di kasur bila capek. Dan kadang mungkin bila sudah capek tak tertahankan setelah seharian bermain, berlari-lari, mundar mandir sekeliling rumah, meloncat-loncat di kasur, ia bahkan akan meminta, "Uwen mau pijit." Katanya sambil menyodorkan minyak telon.

Sewaktu Mamanya sedang mengajari pipis sendiri, nah, itu adalah perjuangan luar biasa.

Pertama-tama Uwen dilatih dengan tak lagi dipakaikan diapers.
Jadinya?
Crot sana, crot sini.
Tanyakan saja bagian rumah mana yang belum dipipisinya.
Tak bosan-bosan Si Mama bilang, "Kalau mau pipis, bilang, Uwen mau pipis."
Yang terjadi adalah, ia pipis dulu baru bilang.

Bayangkan saja, selama proses belajar selama berbulan-bulan itu, banyak teriakan, tangisan, dan juga tawa.
Mungkin saja ia bingung, bagaimana persisnya perasaan ingin pipis itu. Bagaimana caranya menahan agar bisa bila bilang pipis lebih dulu sebelum terkucur betulan.

Kukatakan padanya, sambil menyentuh bagian agak di bawah perutnya. "Yayang, kalo perutnya berasa nyeri, cekit-cekit di bawah sini, kaya' ditekan begini, itu namanya mau pipis."

Ya, ia memandangku dengan tatapan aneh itu lagi, tapi kusimpulkan ia sedang mencerna, atau malah heran untuk apa Tante ini menekan-nekan bagian bawah perutnya.

Beginilah kira-kira yang namanya "Tatapan Aneh Uwen".
Wonder dengan apa dimaksud orang-orang besar ini padanya.

Anyway, pada usia 1 tahun 2 bulan, ia sudah bisa dengan sukses bilang pee-pee sebelum pipis beneran. Setelah selesai dengan urusan ingin pipis, ada masalah baru lagi, ia belum bisa membedakan pee-pee dan pup.

Kuberi tahu ia, "Kalau pee-pee itu rasanya nyeri, Yang, perut kayak ditekan. Tapi kalau mau pup, perut rasanya sakit."
Dan beberapa hari kemudian, ia sudah fasih bilang, "Cakit puwot." (= sakit perut).

Nah, yang masih menjadi masalah sekarang adalah perasaan mengantuk.
Uwen ini seperti tak rela bila ia harus tidur. Dari bayi baru lahir, ia selalu mengamuk bila mengantuk. Menangis dulu, rewel dulu baru tertidur sendiri.

Kami berkesimpulan, ia tak tahu apa yang harus dilakukan bila mengantuk, atau apakah sebenarnya perasaan mengantuk itu.
Jadi kami sering sekali memberitahunya.
"Kalau kepala rasanya goyang, kliyengan, itu namanya mengantuk, Yang."
"Kalau matanya berat, itu namanya mengantuk."

"Dan kalau mengantuk, Uwen tinggal merem. Pasti sembuh. Jangan nangis."
"Kalau mengantuk, bilang, Uwen mau susu, Mama. Uwen mau bobo, Mama."

Ya, seperti biasa reaksinya hanyalah tatapan aneh itu. Itu kalau sedang beruntung, kalau tidak, ia terus menangis.
Dan kucatat, hal itu masih menjadi problem sampai malam ini.

Perasaan bayi?
Kesulitan bayi untuk mengungkapkan bagaimana perasaannya?

Bagiku, rasanya menyenangkan bicara padanya. Walaupun tak bisa berkomunikasi secara sempurna, tapi ia selalu mendengarkan. Dan tak seperti ketika bicara dengan (tak semua) orang dewasa , Uwen selalu jujur.

"Sisir Tante mana, Yang?"
"Ndak, Tante, Uwen ndak sisin." (= Ndak, Tante, Uwen gak pake sisir)

"Pulpen mana ya?"
"Di kaman Tante." (= Di kamar Tante)

"Yayang, Tante stres."
"Cetes? hihiii..."

"Uwen sayang gak sama Tante?"
"Cayang."

"Yang, Tante cantik apa jelek?"
"Jeyek."




Di taman pintar, supaya pintar

:)

Dan ini bukan kado ulang tahun Uwen yang kedua.
Itu masih 1 bulan 6 hari lagi.
blog comments powered by Disqus
Template has been modified and taken from this site