Wednesday, June 3, 2009

Mengenang dengan Tertawa


Untuk setiap momen kesedihan dan kegetiran yang kualami bersama satu atau beberapa orang yang ada di hidupku, aku acap berkata, "Kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Oh, aku ingin sekali dibilang berpikiran positif.
Tapi yang kumaksudkan saat aku mengatakannya adalah, aku benar-benar ingin melewati bagian buruk dari momen itu, melupakannya untuk sementara. Kemudian saat teringat lagi, aku akan mengenang kejadian itu dengan tertawa dan berkata, "Kok bisa ya kita dulu begitu ?", atau, "Konyol banget ya kita dulu ?"

Pernah pada semester pertama kuliah, hidup jauh dari orang tua, ngekos, dan untuk pertama kalinya diberi keleluasaan untuk mengelola uang bulanan
sendiri, aku dihinggapi penyakit kalap dan lapar mata. Shock ini rupanya juga dialami oleh beberapa temanku, dan salah satu di antaranya adalah sahabatku semenjak SMA. Pada satu akhir bulan yang mencekik, kami menyadari bahwa kami tak punya uang untuk makan malam. Maka dengan segala ketololan, kami mencari-cari kemungkinan uang terselip di saku jeans, di kantung-kantung tas, di selipan buku, dan di sela lipatan baju.
Lumayanlah dapat beberapa perak.
Temanku itu sudah hampir menangis, lalu kuhibur ia dengan berkata, "Tenanglah, kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Dan sekarang, kami memang tertawa mengenangnya.

Ketika berada pada momen di mana aku harus mengakhiri suatu hubungan yang tampaknya akan berlangsung selamanya, aku juga berkata, "Kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Sekarang, kami mengenangnya dengan tertawa, sekaligus meringis bercampur jadi satu.

Mengenang dengan tertawa.
Aku ingat pernah mendengar atau membaca quote ini entah di mana.
Dan sejak itu, kuucapkan kata-kata ini sebagai mantra untuk menawar setiap golakan emosi yang kualami, hanya supaya pahit dan getir itu tak terasa
terlalu sakit.

Kuucapkan juga ini padanya, sebelum dia mengemas hidupnya dan mencoba mencari pengampunan dari kesalahan yang membekas permanen.
Kini bertahun sudah lewat, ternyata kami belum bisa tertawa. Kupikir untuk selamanya kami hanya bisa meringis mengenangnya.

Ternyata jampi-jampi andalanku ini tak cukup ampuh melawan penyakit yang satu itu.

blog comments powered by Disqus
Template has been modified and taken from this site