Friday, June 19, 2009

Guilty Pleasure

Perih.

Tak kusangka melakukan suatu aktivitas yang begitu standar dan menyenangkan seperti makan bisa membuatku kena masalah. Bukan karena perutku menolaknya, bukan pula karena aku tak suka rasanya. Justru aku sangat suka, dan seperti semua kenikmatan lain, aku terus-terusan melakukannya sampai lidahku lecet dan bibirku terasa asin.

Makan kwaci.
Kau masih ingat kan, cemilan ini begitu populer waktu kita kecil. Aku tak tahu kandungan gizinya, yang kutahu hanyalah bahwa makan kwaci ini begitu mengasyikkan.
Lama aku tak pernah lagi makan kwaci. Kemarin, tiba-tiba aku melihat di atas meja makan ada sebungkus besar kwaci biji bunga matahari. Seketika aku menyambarnya dan berkumpul bersama orang rumah sambil tak henti-henti menelateni kwaci, mengabaikan hal lain yang membutuhkan perhatian kami, sambil cekikikan menghitung kegembiraan kami pada kesenangan yang lugu ini. Semacam nostalgia, kami tak henti-henti bercerita tentang pengalaman makan kwaci ketika kecil, dan hal itu merembet pada cerita lain.

Ukurannya tak lebih dari kuku jari kelingking, penampilan luarnya kisut dan jelek, dan isinya pun tak terasa istimewa. Malah mendekati hambar. Tapi entah kenapa cemilan ini begitu adiktif. Kata orang, karena diperlukan suatu usaha yang keras untuk bisa menikmati isinya, jadilah dagingnya itu menjadi sangat berharga.
Hm, definisi yang filosofis.

Memang perlu teknik tersendiri untuk memakan kwaci, tak asal buka dan telan saja. Teknik ini sepertinya secara alami kita pelajari waktu kecil dulu. Kombinasi antara menggigit dan menjulurkan lidah. Dan untuk melakukannya, dibutuhkan konsentrasi dan posisi yang mapan, tak bisa disambi dengan hal lain.
Ya, mungkin bisa, tapi hanya dengan satu tangan. Dan dengan separo perhatian tertuju pada kulit dan isinya yang berlomba itu, ada kemungkinan tertukar antara kulit dan isi sehingga bisa-bisa kita menelan kulitnya dan membuang isinya, bisakah kita, paling tidak, 80% mengerjakan hal lain?
Kurasa inilah pembeda kwaci dan cemilan lain.

Sekali memakannya, kita tak bisa berhenti. Baru terasa akibatnya bila mulut sudah jontor, dan saat itu pun, kita terus melakukannya sampai habis atau bila kita terpaksa harus melakukan hal lain.

Semacam guilty pleasure?

Jadi, apa guilty pleasure-mu?
Main internet tak sudah-sudah walaupun jam dinding menunjukkan jam 11 siang, sementara pekerjaanmu belum ada yang beres?
Melirikkan mata beberapa derajat dari pacarmu ke arah makhluk sexy itu?
Mengantongi sabun dan shampo hotel?
Nyolong mangga?
Nonton bokep?
Membatalkan puasa sebelum bedug Magrib?

Bila kau tanya aku, wah, daftarnya bisa menjadi sangat panjang.
Seingatku daftar itu sudah kumulai sejak aku masih 4 tahun, ketika setiap hari aku membuang susu yang harus kuminum ke petak bunga. Aku merasa bersalah, tapi juga ada rasa senang yang aneh ketika aku berpikir aku bisa mengelabui orang tuaku.
Mana pernah aku menyangka waktu itu, bahwa Ayahku yang setiap sore menyiram tanaman bisa melihat kenapa bunga-bunganya bisa berwarna putih.

Tentu analoginya tak terbatas, dan contohnya bisa diperlebar.
Tapi untuk sementara ini, kwaci inilah yang begitu menyentuhku. Karena aku masih tak bisa berhenti walaupun sudah lecet, separo jontor, dan perutku menggelegak karena belum diisi nasi sejak siang.

Bahkan sekarang pun, asal kau tahu, membutuhkan waktu yang lama untuk menuliskan cerita sederhana ini, karena aku melakukannya sambil makan kwaci.
Atau makan kwaci sambil menulis?

Ups,
Tertukar lagi, aku lagi-lagi menelan kulitnya dan membuang isinya.
Makan kwaci itu memang tak boleh diselingi dengan kegiatan lain.



blog comments powered by Disqus
Template has been modified and taken from this site