Sudah sejak kecil aku sangat tergila-gila dengan mesin waktu, dan apa pun yang bisa membawaku kembali ke masa lalu.
Seorang temanku berkata bahwa masa lalu tak ada gunanya untuk dilihat lagi, kecuali untuk belajar. Ia berkata bahwa spion itu lebih kecil dari kaca depan.
Tapi benar, aku ingin sekali kembali. Ada yang ingin kuperbaiki di belakang sana.
Seandainya mungkin, aku ingin mundur ke waktu 12 tahun yang lalu.
Apakah terlalu berlebihan?
Huffhh..
Itu lah mengapa Doraemon will always be my idol, dan Back to The Future milik Steven Spielberg, dan oh ya, juga buku ketiga Harry Potter.
Seandainya bisa hidup di dunia fantasi.
Tapi apa bisa dikata, hidup memang selalu mengarah ke depan. Jangankan mundur, berhenti pun kita tak bisa.
Aku ingin mengucap maaf atas kesalahan yang tak kusadari. Maaf yang hanya akan menjadi hambar bila dipinta sekarang.
Aku ingin menyelesaikan kuliahku lebih cepat, supaya aku tak perlu menyematkan istilah teror di setiap telepon Ibuku.
Aku ingin merangkul lagi persahabatan yang sudah mengantarku dewasa, dan entah kenapa diputus oleh egoku sendiri.
Aku ingin memenangkan kembali hati seorang laki-laki.
Aku ingin berkata tidak.
Aku ingin memutar waktu dan menjalaninya dari awal lagi. Karena seandainya saja aku tak berbelok waktu itu, maka hari ini tak kan sama.
Tapi katanya, melihat ke belakang ke masa lalu itu menentang sunnah.
Jadi hari ini, walaupun terseok-seok, kulakukan segalanya yang kubisa, supaya besok aku takkan berkata "if only I could turn back the time."
Tuesday, October 5, 2010
Friday, July 30, 2010
Shrimp's Heart is in Its Head
"Hati udang itu ada di kepalanya."
Pertama kali aku mendengar pepatah ini, aku merasa ditampar. Aku dipaksa melihat ke diriku sendiri dan menyadari seberapa parah perubahan tata hati dan otakku.
Hati itu seharusnya ada di kepala, atau paling tidak, hati itu jangan kalah pada isi kepala. Mereka seharusnya berdekatan, jangan pernah saling bertentangan. Aku hanya bisa memahami satu maksud dari ini, bahwa apa pun yang terjadi, kepala harus bisa mengontrol hati.
Detik itu juga rasanya aku ingin menjadi udang. Hatinya tak jauh-jauh dari otak. Seandainya begitu, takkan pernah lagi aku merasa kesusahan mempertahankan logikaku tetap di kepala.
Takkan pernah lagi mungkin aku mendengar sahabatku satu itu berkata, logika dan hatinya tak sinkron.
Hati dan otak ada di satu tempat. Hati yang tugasnya merasa itu tempatnya ada di mana pikir berada. Bila sudah begitu, hati dan logika mungkin tak akan bertengkar lagi.
Tentu saja kemudian aku punya dua cara memahami pepatah ini.
Yang pertama, udang tak akan mengikuti dorongan hati saja, karena otaknya siap menimbang baik buruknya.
Atau yang kedua, begitu dekatnya posisi hati si udang dengan otaknya, tapi itu pun tak bisa mencegahnya untuk selalu berjalan "mundur", tak mau maju, maka kemudian lazimlah udang dikatakan bodoh..?
Mendadak aku tak ingin lagi menjadi udang.
Aku bukan bodoh.
Pertama kali aku mendengar pepatah ini, aku merasa ditampar. Aku dipaksa melihat ke diriku sendiri dan menyadari seberapa parah perubahan tata hati dan otakku.
Hati itu seharusnya ada di kepala, atau paling tidak, hati itu jangan kalah pada isi kepala. Mereka seharusnya berdekatan, jangan pernah saling bertentangan. Aku hanya bisa memahami satu maksud dari ini, bahwa apa pun yang terjadi, kepala harus bisa mengontrol hati.
Detik itu juga rasanya aku ingin menjadi udang. Hatinya tak jauh-jauh dari otak. Seandainya begitu, takkan pernah lagi aku merasa kesusahan mempertahankan logikaku tetap di kepala.
Takkan pernah lagi mungkin aku mendengar sahabatku satu itu berkata, logika dan hatinya tak sinkron.
Hati dan otak ada di satu tempat. Hati yang tugasnya merasa itu tempatnya ada di mana pikir berada. Bila sudah begitu, hati dan logika mungkin tak akan bertengkar lagi.
Tentu saja kemudian aku punya dua cara memahami pepatah ini.
Yang pertama, udang tak akan mengikuti dorongan hati saja, karena otaknya siap menimbang baik buruknya.
Atau yang kedua, begitu dekatnya posisi hati si udang dengan otaknya, tapi itu pun tak bisa mencegahnya untuk selalu berjalan "mundur", tak mau maju, maka kemudian lazimlah udang dikatakan bodoh..?
Mendadak aku tak ingin lagi menjadi udang.
Aku bukan bodoh.
Wednesday, July 28, 2010
Dishonest
Hai, apa kabar?
Aku tak tahu, apakah kalian masih ingat aku?
Bila pun ingat, pernahkah kau bertanya, teman, mengapa aku menghilang?
Hiatus tanpa pamit?
Kujawab, dengan jujur, aku menghilang karena aku kehilangan kejujuranku. Hingga aku merasa malu untuk menulis dan berjumpa denganmu di tempat yang kunamai Honest ini.
Pernah suatu waktu ketika aku masih remaja dulu, Ibuku berkata, "Keistimewaanmu itu satu, kau jujur. Jagalah kepercayaan orang padamu, karena sekali kau merusaknya, rusaklah semuanya."
Kuiyakan saja.
Kuanggukkan saja kepalaku.
Manalah aku tahu apakah aku jujur atau bagaimana.
Tak pernah aku mencuri.
Tak pernah jua aku berbohong.
Bila itu yang mereka namakan jujur, maka mungkin aku jujur.
Honest.
Kejujuran buatku adalah, bila aku mengatakan apa yang harus kukatakan. Bila aku mengakui hal yang mungkin tak mau atau malu diakui orang lain.
Tapi bila dengan sadar aku mendustakan sebuah kenyataan, masih pantaskah aku dianggap sebagai orang jujur ?
Apakah ketidakjujuran, kawan ?
Bila kau berbohong ?
Atau bila kau menutupi sesuatu ?
Pernah kulakukan kedua-duanya untuk menyelamatkan sesuatu yang kunamai masa depanku, dan sekarang, karena sudah tahu cara dan bagaimana berbohong dan menutupi sesuatu, aku merasa seolah-olah dikutuk untuk selalu waspada dan mengenali setiap gejala dan kejanggalan.
"Apakah dia sedang membohongiku?"
"Apa yang dia sembunyikan di belakangku?"
Aku tak tahu, apakah kalian masih ingat aku?
Bila pun ingat, pernahkah kau bertanya, teman, mengapa aku menghilang?
Hiatus tanpa pamit?
Kujawab, dengan jujur, aku menghilang karena aku kehilangan kejujuranku. Hingga aku merasa malu untuk menulis dan berjumpa denganmu di tempat yang kunamai Honest ini.
Pernah suatu waktu ketika aku masih remaja dulu, Ibuku berkata, "Keistimewaanmu itu satu, kau jujur. Jagalah kepercayaan orang padamu, karena sekali kau merusaknya, rusaklah semuanya."
Kuiyakan saja.
Kuanggukkan saja kepalaku.
Manalah aku tahu apakah aku jujur atau bagaimana.
Tak pernah aku mencuri.
Tak pernah jua aku berbohong.
Bila itu yang mereka namakan jujur, maka mungkin aku jujur.
Honest.
Kejujuran buatku adalah, bila aku mengatakan apa yang harus kukatakan. Bila aku mengakui hal yang mungkin tak mau atau malu diakui orang lain.
Tapi bila dengan sadar aku mendustakan sebuah kenyataan, masih pantaskah aku dianggap sebagai orang jujur ?
Apakah ketidakjujuran, kawan ?
Bila kau berbohong ?
Atau bila kau menutupi sesuatu ?
Pernah kulakukan kedua-duanya untuk menyelamatkan sesuatu yang kunamai masa depanku, dan sekarang, karena sudah tahu cara dan bagaimana berbohong dan menutupi sesuatu, aku merasa seolah-olah dikutuk untuk selalu waspada dan mengenali setiap gejala dan kejanggalan.
"Apakah dia sedang membohongiku?"
"Apa yang dia sembunyikan di belakangku?"
Saturday, October 17, 2009
Trouble
Pada suatu malam, aku terjebak dalam segi empat kamarku demi mencoba menuruti saran sahabat baikku untuk mengurung diri saja di kamar bila datang stres.
Tak tahu apa yang harus dilakukan, aku merasa kosong.
Kompie eror, seperti biasa menuruti suasana hati dan pikiran juragannya. Membaca buku pun anehnya tambah membuatku gelisah. Sialnya lagi, DVD yang ada cuma drama, genre film yang alergi kutonton bila hati sedang kacau.
Jadilah aku hanya menyalakan televisi, dan berhenti pada satu channel yang menayangkan Safa dan Marwah.
Ya, sinetron itu!
Sinetron yang sepertinya menjiplak Prince & The Pauper.
Kurasa tak perlulah kuberitahu apakah aku suka atau tidak suka menonton sinetron.
Menurutmu ?
Jadi, tentang Safa dan Marwah.
Sepertinya dua anak gadis ini adalah saudara, atau kemungkinan malah kembar.
Safa adalah anak orang kaya dengan keluarga yang bahagia. Gadis satunya, Si Marwah, hanya hidup dengan Ibunya yang miskin. Ia harus bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya setelah Si Ibu tak lagi bisa bekerja karena sakit entah apa yang membuat perutnya luka.
Entahlah, aku tak pernah menonton episode-episode sebelumnya.
Jadi, di episode yang aku tonton itu, diceritakan konflik yang dihadapi dua anak ini.
Konflik Safa, adalah dilarang berhubungan dengan laki-laki yang disukainya, karena walaupun berakhlak baik, anak laki-laki ini tak berada. Safa sampai diskors dilarang keluar rumah karena itu. Hukuman itu membuat Safa sedih, selalu melamun, sampai tak berselera makan.
Sementara Marwah, diceritakan tak bisa membayar uang kontrakan, karena uang gajinya dijambret orang, sehingga ia dan Ibunya diusir oleh si induk semang. Mereka pun pergi menumpang bis tanpa tujuan. Tak tanggung-tanggung si penulis skenario membuat cerita, pada saat turun dari bis, barang-barang mereka, yang mungkin seluruh harta mereka terlambat diturunkan hingga terbawa bis. Jadilah mereka malam itu berjalan kaki tak tentu arah, belum makan, dan tak tahu harus bermalam di mana.
Setelah berjalan cukup jauh, tibalah konflik sesungguhnya. Tiba-tiba jahitan di perut Ibu Marwah terbuka dan berdarah. Marwah menangis meminta pertolongan kepada siapa saja yang lewat di pinggir jalan itu. Tak ada yang mau menolong, bahkan sopir taksi pun tak mau mengulurkan tangan setelah mengetahui bahwa calon penumpangnya itu tak punya uang sepeser pun. Akhirnya anak gadis yang tak punya uang itu hanya bisa menangis di pinggir jalan bersama Ibunya yang pingsan kesakitan.
Sampai di sini, cerita itu terpotong iklan, dan aku kemudian memindahkan channel. Berikutnya aku lupa untuk kembali lagi ke sinetron itu. Aku terlalu disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang kejomplangan yang mereka alami.
Uang memang bukanlah penentu kebahagiaan. Contohnya saja Safa. Ia bisa makan enak, tapi tak bahagia ditiran oleh orang tua. Tapi Marwah, karena sama sekali tak punya uang, juga begitu menderita tak bisa menolong Ibunya yang kesakitan di depan matanya.
Semua orang memang punya masalah sendiri-sendiri, tapi bila kondisinya seperti Marwah yang berhadapan dengan ancaman nyawa Ibunya, dan permasalahan Safa berkaitan dengan cinta yang terhalang, bisakah dibandingkan ?
Begitulah kenapa aku merasa tak pantas untuk mengabarkan bahwa aku sedang bahagia di depan mereka yang terlilit masalah besar.
Tapi juga aku malu mengakui bahwa aku bersedih sementara kesedihan mereka jauh lebih perih.
Aku tak bisa membagi masalahku karena yang kuhadapi ini begitu sepele dibandingkan dengan masalah mereka.
Walaupun otak dan hatiku begitu capek seolah rasanya kaki di kepala dan kepala di kaki, aku memilih menyibukkan pikiranku sendiri dengan memikirkan masalah orang lain, supaya aku bisa terus menganggap bahwa masalahku ini tak ada artinya.
Tapi bila suatu ketika nanti duniaku runtuh, siapakah yang akan menopangkan langit untukku ??
Tak tahu apa yang harus dilakukan, aku merasa kosong.
Kompie eror, seperti biasa menuruti suasana hati dan pikiran juragannya. Membaca buku pun anehnya tambah membuatku gelisah. Sialnya lagi, DVD yang ada cuma drama, genre film yang alergi kutonton bila hati sedang kacau.
Jadilah aku hanya menyalakan televisi, dan berhenti pada satu channel yang menayangkan Safa dan Marwah.
Ya, sinetron itu!
Sinetron yang sepertinya menjiplak Prince & The Pauper.
Kurasa tak perlulah kuberitahu apakah aku suka atau tidak suka menonton sinetron.
Menurutmu ?
Jadi, tentang Safa dan Marwah.
Sepertinya dua anak gadis ini adalah saudara, atau kemungkinan malah kembar.
Safa adalah anak orang kaya dengan keluarga yang bahagia. Gadis satunya, Si Marwah, hanya hidup dengan Ibunya yang miskin. Ia harus bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya setelah Si Ibu tak lagi bisa bekerja karena sakit entah apa yang membuat perutnya luka.
Entahlah, aku tak pernah menonton episode-episode sebelumnya.
Jadi, di episode yang aku tonton itu, diceritakan konflik yang dihadapi dua anak ini.
Konflik Safa, adalah dilarang berhubungan dengan laki-laki yang disukainya, karena walaupun berakhlak baik, anak laki-laki ini tak berada. Safa sampai diskors dilarang keluar rumah karena itu. Hukuman itu membuat Safa sedih, selalu melamun, sampai tak berselera makan.
Sementara Marwah, diceritakan tak bisa membayar uang kontrakan, karena uang gajinya dijambret orang, sehingga ia dan Ibunya diusir oleh si induk semang. Mereka pun pergi menumpang bis tanpa tujuan. Tak tanggung-tanggung si penulis skenario membuat cerita, pada saat turun dari bis, barang-barang mereka, yang mungkin seluruh harta mereka terlambat diturunkan hingga terbawa bis. Jadilah mereka malam itu berjalan kaki tak tentu arah, belum makan, dan tak tahu harus bermalam di mana.
Setelah berjalan cukup jauh, tibalah konflik sesungguhnya. Tiba-tiba jahitan di perut Ibu Marwah terbuka dan berdarah. Marwah menangis meminta pertolongan kepada siapa saja yang lewat di pinggir jalan itu. Tak ada yang mau menolong, bahkan sopir taksi pun tak mau mengulurkan tangan setelah mengetahui bahwa calon penumpangnya itu tak punya uang sepeser pun. Akhirnya anak gadis yang tak punya uang itu hanya bisa menangis di pinggir jalan bersama Ibunya yang pingsan kesakitan.
Sampai di sini, cerita itu terpotong iklan, dan aku kemudian memindahkan channel. Berikutnya aku lupa untuk kembali lagi ke sinetron itu. Aku terlalu disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang kejomplangan yang mereka alami.
Uang memang bukanlah penentu kebahagiaan. Contohnya saja Safa. Ia bisa makan enak, tapi tak bahagia ditiran oleh orang tua. Tapi Marwah, karena sama sekali tak punya uang, juga begitu menderita tak bisa menolong Ibunya yang kesakitan di depan matanya.
Semua orang memang punya masalah sendiri-sendiri, tapi bila kondisinya seperti Marwah yang berhadapan dengan ancaman nyawa Ibunya, dan permasalahan Safa berkaitan dengan cinta yang terhalang, bisakah dibandingkan ?
Begitulah kenapa aku merasa tak pantas untuk mengabarkan bahwa aku sedang bahagia di depan mereka yang terlilit masalah besar.
Tapi juga aku malu mengakui bahwa aku bersedih sementara kesedihan mereka jauh lebih perih.
Aku tak bisa membagi masalahku karena yang kuhadapi ini begitu sepele dibandingkan dengan masalah mereka.
Walaupun otak dan hatiku begitu capek seolah rasanya kaki di kepala dan kepala di kaki, aku memilih menyibukkan pikiranku sendiri dengan memikirkan masalah orang lain, supaya aku bisa terus menganggap bahwa masalahku ini tak ada artinya.
Tapi bila suatu ketika nanti duniaku runtuh, siapakah yang akan menopangkan langit untukku ??
Draft ditulis 3 Oktober 2009, di atas busway yang membawa separuh hatiku pulang.
Kepada saudara-saudaraku di Padang, maafkanlah keegoisanku.
Kepada saudara-saudaraku di Padang, maafkanlah keegoisanku.
Friday, July 17, 2009
Misuh
Komputerku hang (lagi). Dan karena si kompie itu dan aku senyawa, maka bila ia kenapa-napa, aku lah yang sakit, meriang, sakit kepala.
Benar. Ini bukan melebih-lebihkan.
Saat menyalakan komputer tadi, tiba-tiba layar hitam itu yang kuhadapi, meminta booting.
Haiyah.
Setelah jurus putus asa memencet tombol kecil bernama "reset" itu tak berhasil, terpaksalah kuinstal ulang. Tapi alamak, bagus bener, hardisk-nya tak terbaca!
Ada apa dengan hardiskku??
A*U!!
Monyet!
Ah, oke...
Astaghfirullah.
Masalahnya, bukan sekali dua ini hardisk itu bermasalah. Pernah pertama kali waktu ia menghilangkan empat bab skripsiku. Kemudian yang kedua, menghilangkan koleksi foto bayi Uwen. Dan yang ketiga... membuatku diomeli Kakakku karena banyak datanya yang hilang tak bisa diangkat, dan aku pun dilarang mengutak-atik komputer lagi.
ATU!!!
Uhm, apakah kau suka menyumpah? Misuh?
Aku iya.
Tapi tak terbayang apa jadinya bila semua pisuhan yang keluar dari mulut kita ini menjadi nyata, ya...
Jangankan kutukan, menyumpah pun akan dahsyat sekali akibatnya.
Jika saja kita hidup di masa Mahabharata, di mana kutukan Gandari bisa membunuh Krishna, dan kutukan Urwasi bisa membuat Arjuna menjadi kasim, maka sekarang ini jumlah manusia akan menyusut dan jumlah binatang membengkak. Dan aku pasti punya kandang besar untuk monyet, dan hahaa, walaupun lebih sedikit jumlahnya, kau pasti tahu apa yang satu itu.
PS :
Sstt, aku yakin banyak teroris akan bertransformasi menjadi beragam bentuk hari ini, jika saja semua pisuhan dan kutukan itu dihitung sebagai doa yang langsung dijawab.
Foto Munyuk'e dari sini
Benar. Ini bukan melebih-lebihkan.
Saat menyalakan komputer tadi, tiba-tiba layar hitam itu yang kuhadapi, meminta booting.
Haiyah.
Setelah jurus putus asa memencet tombol kecil bernama "reset" itu tak berhasil, terpaksalah kuinstal ulang. Tapi alamak, bagus bener, hardisk-nya tak terbaca!
Ada apa dengan hardiskku??
A*U!!
Monyet!
Ah, oke...
Astaghfirullah.
Masalahnya, bukan sekali dua ini hardisk itu bermasalah. Pernah pertama kali waktu ia menghilangkan empat bab skripsiku. Kemudian yang kedua, menghilangkan koleksi foto bayi Uwen. Dan yang ketiga... membuatku diomeli Kakakku karena banyak datanya yang hilang tak bisa diangkat, dan aku pun dilarang mengutak-atik komputer lagi.
ATU!!!
Uhm, apakah kau suka menyumpah? Misuh?
Aku iya.
Tapi tak terbayang apa jadinya bila semua pisuhan yang keluar dari mulut kita ini menjadi nyata, ya...
Jangankan kutukan, menyumpah pun akan dahsyat sekali akibatnya.
Jika saja kita hidup di masa Mahabharata, di mana kutukan Gandari bisa membunuh Krishna, dan kutukan Urwasi bisa membuat Arjuna menjadi kasim, maka sekarang ini jumlah manusia akan menyusut dan jumlah binatang membengkak. Dan aku pasti punya kandang besar untuk monyet, dan hahaa, walaupun lebih sedikit jumlahnya, kau pasti tahu apa yang satu itu.
PS :
Sstt, aku yakin banyak teroris akan bertransformasi menjadi beragam bentuk hari ini, jika saja semua pisuhan dan kutukan itu dihitung sebagai doa yang langsung dijawab.
Foto Munyuk'e dari sini
Thursday, July 9, 2009
Bunuh Diri dan Nama Baik
Baru-baru ini seorang teman bicara tentang pencemaran nama baik. Tak pelak, aku menengok kalender dan yakin, bahwa kasus Prita sudah lewat lama, tergantikan oleh meninggalnya Michael Jackson dan Debat Capres, dan sekarang sudah ketahuan siapa yang akan melanjutkan kerja siapa.
Ia, temanku ini bercerita, bahwa sebuah gosip dihembuskan untuk mencemarkan nama baiknya, dan dengan demikian hampir membunuh karakternya. Katanya …
Haiyah, kenapa aku jadi bergosip ??
Begini …
Aku hanya teringat cerita Putri Hsiang dari jaman Dinasti Ching. Putri Hsiang ini adalah selir Kaisar Chien Lung yang tubuhnya mengeluarkan bau wangi karena selalu mandi dengan air susu unta berpunuk dua. Ia dijuluki Selir Harum yang tariannya bisa mengundang kupu-kupu. Sesungguhnya aku tak begitu yakin bagaimana cerita sebenarnya, ada begitu banyak versi, dan terlalu banyak khayal dan fiksi yang disematkan pada cerita ini.
Yang pasti ia berasal dari suku Uighur, dekat-dekat Turki, muslim katanya. Ada versi yang menceritakan bahwa ia adalah tawanan saat tanahnya dikalahkan, dan ada yang bilang ia dihadiahkan oleh Ayahnya kepada Kaisar Chien Lung sebagai bentuk transaksi politik.
Apa pun versinya, hampir semua bersepakat bahwa ia mati di dalam Kota Terlarang, dibunuh. Penyebabnyalah yang simpang siur. Diceritakan ia mati karena berusaha membunuh Kaisar, dan ada pula yang menceritakan kematiannya sebagai akibat dari kecemburuan Permaisuri dan kebencian Ibu Suri.
Yang pasti, Hsiang Fei, atau Selir Harum, atau Epar Khan ini meninggal, dibunuh.
Dan untuk melindungi nama baik Sang Putri dan memulihkan kehormatannya, Istana mengumumkan dan dicatatkan dalam sejarah, bahwa Putri Hsiang telah bunuh diri dengan terjun ke sumur atau menggantung diri.
Di sinilah maksudku, bagaimana bisa tindakan bunuh diri disepadankan dengan kehormatan dan nama baik?
Tunda dulu perbandingan dengan samurai dan filosofi kehormatannya yang rumit, itu (mungkin) berbeda.
Tapi bila tentang seorang wanita, yang karena intrik politik dan kedengkian orang lain ia dibunuh, lalu demi kehormatan nama baiknya, kemudian ia diberitakan telah bunuh diri, di mana logikanya?
Sama sekali tak sampai ke otakku.
Aku sendiri akan lebih bangga bila kematianku disebabkan oleh pembunuhan dari pada karena bunuh diri.
Tentu saja banyak yang menjadi pertimbangan, seperti misalnya tahun berapa cerita itu berasal, bagaimana kondisi masyarakatnya, cara berpikir orang-orangnya pada zaman itu, atau keyakinan yang mereka anut. Akan ada banyak bahasan dan pembenaran.
Tapi aku menolak mengerti.
Walaupun aku tahu ada banyak celah untuk membenarkan tindakan orang-orang yang hidup jauh di masa lalu itu, aku tetap tak bisa berempati.
Aku tak mau memahami, karena walau sampai pusing pun aku berputar memikirkan, pertanyaan dan kegelisahanku tak jua terpuaskan.
Bunuh diri, bagiku adalah pencemaran nama baik yang sesungguhnya.
Tanda bahwa kita lemah, tak berdaya, berpikiran pendek, dan tak punya iman.
Ia, temanku ini bercerita, bahwa sebuah gosip dihembuskan untuk mencemarkan nama baiknya, dan dengan demikian hampir membunuh karakternya. Katanya …
Haiyah, kenapa aku jadi bergosip ??
Begini …
Aku hanya teringat cerita Putri Hsiang dari jaman Dinasti Ching. Putri Hsiang ini adalah selir Kaisar Chien Lung yang tubuhnya mengeluarkan bau wangi karena selalu mandi dengan air susu unta berpunuk dua. Ia dijuluki Selir Harum yang tariannya bisa mengundang kupu-kupu. Sesungguhnya aku tak begitu yakin bagaimana cerita sebenarnya, ada begitu banyak versi, dan terlalu banyak khayal dan fiksi yang disematkan pada cerita ini.
Yang pasti ia berasal dari suku Uighur, dekat-dekat Turki, muslim katanya. Ada versi yang menceritakan bahwa ia adalah tawanan saat tanahnya dikalahkan, dan ada yang bilang ia dihadiahkan oleh Ayahnya kepada Kaisar Chien Lung sebagai bentuk transaksi politik.
Apa pun versinya, hampir semua bersepakat bahwa ia mati di dalam Kota Terlarang, dibunuh. Penyebabnyalah yang simpang siur. Diceritakan ia mati karena berusaha membunuh Kaisar, dan ada pula yang menceritakan kematiannya sebagai akibat dari kecemburuan Permaisuri dan kebencian Ibu Suri.
Yang pasti, Hsiang Fei, atau Selir Harum, atau Epar Khan ini meninggal, dibunuh.
Dan untuk melindungi nama baik Sang Putri dan memulihkan kehormatannya, Istana mengumumkan dan dicatatkan dalam sejarah, bahwa Putri Hsiang telah bunuh diri dengan terjun ke sumur atau menggantung diri.
Di sinilah maksudku, bagaimana bisa tindakan bunuh diri disepadankan dengan kehormatan dan nama baik?
Tunda dulu perbandingan dengan samurai dan filosofi kehormatannya yang rumit, itu (mungkin) berbeda.
Tapi bila tentang seorang wanita, yang karena intrik politik dan kedengkian orang lain ia dibunuh, lalu demi kehormatan nama baiknya, kemudian ia diberitakan telah bunuh diri, di mana logikanya?
Sama sekali tak sampai ke otakku.
Aku sendiri akan lebih bangga bila kematianku disebabkan oleh pembunuhan dari pada karena bunuh diri.
Tentu saja banyak yang menjadi pertimbangan, seperti misalnya tahun berapa cerita itu berasal, bagaimana kondisi masyarakatnya, cara berpikir orang-orangnya pada zaman itu, atau keyakinan yang mereka anut. Akan ada banyak bahasan dan pembenaran.
Tapi aku menolak mengerti.
Walaupun aku tahu ada banyak celah untuk membenarkan tindakan orang-orang yang hidup jauh di masa lalu itu, aku tetap tak bisa berempati.
Aku tak mau memahami, karena walau sampai pusing pun aku berputar memikirkan, pertanyaan dan kegelisahanku tak jua terpuaskan.
Bunuh diri, bagiku adalah pencemaran nama baik yang sesungguhnya.
Tanda bahwa kita lemah, tak berdaya, berpikiran pendek, dan tak punya iman.
Untukmu sahabatku yang terobsesi pada mati, berhentilah bicara tentang bunuh diri.
Aku membencimu untuk itu.
Aku benci pada kata-kata yang kau olah itu, serius atau pun hanya meminta puji.
Dan kau boleh yakin, pada hari ketika seharusnya kau diyasinkan,
aku akan mencela keputusanmu dan berkata,
bahwa kau mati karena terlalu takut hidup.
Aku membencimu untuk itu.
Aku benci pada kata-kata yang kau olah itu, serius atau pun hanya meminta puji.
Dan kau boleh yakin, pada hari ketika seharusnya kau diyasinkan,
aku akan mencela keputusanmu dan berkata,
bahwa kau mati karena terlalu takut hidup.
Monday, July 6, 2009
Menunggu
Lampu itu benderang setiap malam meminta pertolongan.
Tidakkah kau lihat ?
Bukankah langitku adalah langitmu jua ?
Sudah pernah kukatakan, pahlawan tak perlu menyaru menjadi pujangga, karena dirinya sendiri adalah puisi.
Menghitung hari ternyata bukan cuma ungkapan.
Kau lihat Prabowo sudah pasrah menjadi wakil saja.
Manohara juga sudah kembali.
Dan Michael Jackson mati.
Rambutku yang sepunggung itu pun sudah kupangkas pendek.
Tapi kau belum kembali.
Lalu lagu apa yang sekarang harus kunyanyikan ??
Sunday, June 28, 2009
Mimpi Buruk
Teruslah membaca, kawan, atau lompatilah sampai paragraf empat.
Aku tak sedang menakut-nakutimu. Ini bukan cerita hantu.
Seorang teman bercerita bahwa tadi malam ia tindihan. Kau tahu apa itu tindihan?
Aku tak tahu, karena belum pernah mengalaminya.
Beberapa temanku acap mengalami peristiwa ini. Kata mereka, tindihan adalah suatu situasi menakutkan di mana tubuhmu tak bisa bergerak, berat seperti ada kekuatan yang menindihmu. Kekuatan yang berasal dari makhluk alam lain yang datang ketika kau sedang tidur.
Ada yang mengatakan bahwa yang datang ini adalah makhluk hitam besar yang mungkin bernama Genderuwo, atau seperti temanku tadi malam, ia didatangi oleh makhluk (mungkin) perempuan yang berwujud seperti manequin. Seksi, iya, tapi juga keras tak bernyawa tak bermata tak berhidung tapi bermulut yang berusaha menghisapmu seperti Dementor.
Kau tak bisa bergerak, tapi masih bisa berpikir.
Masih bisa memotivasi diri untuk bangun.
Masih bisa mengucap doa dalam hati.
Hanya mimpikah, atau betul-betul nyata ?
Entahlah, aku tak ingin terkesan sok jago dengan mengatakan bahwa itu cuma mimpi. Aku belum pernah mengalaminya. Dan aku juga tak ingin mendebat hal-hal di luar akalku, lebih lagi karena hal itu ada di luar kemampuan dan pengetahuanku.
Jadi lebih baik kita bahas masalah mimpi buruk saja, karena tadi malam pun aku bermimpi, mimpi yang bisa kukategorikan buruk.
Apakah tadi malam kau juga bermimpi buruk? Iya?
Apakah kau terbangun, langsung terduduk di tempat tidurmu, berkeringat dan nafasmu naik turun persis seperti di film-film horor?
Apakah kau kaget seolah kau baru saja ditampar?
Ataukah kau tiba-tiba bangun dan matamu nyalang menatap langit-langit kamar?
Atau seperti aku, kau tersenyum dan menarik nafas lega?
Apa memangnya ketakutan terbesarmu sampai kau menyematkan label buruk dalam sebuah mimpi?
Bunga tidur. Kata orang tua zaman dulu, mimpi adalah bunga tidur, atau pun pengharapan yang berada jauh di belakang otakmu. Kata mereka juga, mimpi adalah visualisasi ketakutanmu.
Mimpi yang bisa kubilang buruk adalah mimpi bahwa hari ini aku harus masuk kerja, tapi aku langsung tersenyum menyadari bahwa ini hari Minggu.
Mimpi yang bercerita tentang pertengkaranku dengan seorang teman baik, dan kelegaan yang menyertai begitu aku bangun.
Mimpi tentang mantan pacar yang sudah punya pacar baru. Kalau yang ini aku memang was-was.
Atau mimpi bahwa aku sudah membuat marah orang tuaku. Aku bangun dengan ketakutan, tapi sungguh rasanya aku ingin menangis lega menyadari ternyata itu tak nyata.
Aku tak pernah ingat mimpi buruk lain, seperti yang sering diceritakan di film-film horor. Kecuali satu.
Mimpi tentang ular.
Kau belum tahu kan, aku phobia dengan ular.
Aku takut, jijik, ngeri. Gilo. Aku gilo.
Masalahnya, setiap aku mendengar ada yang menyebut nama hewan ini, setiap kali aku melihat gambarnya atau melihatnya di TV, ia selalu datang dalam mimpiku.
Dalam mimpi itu, aku selalu berada dalam satu ruang tertutup bersamanya. Entah satu entah banyak. Dan di luar sana, ada orang-orang yang selalu saja tak mau menolongku, sekeras apa pun aku menangis dan minta tolong.
Kata orang yang percaya mimpi, mimpi tentang ular, dikejar atau pun digigit itu artinya akan dapat jodoh.
Manalah kupercaya, sedangkan mimpi itu selalu membuatku takut, mengigau, dan kehabisan nafas sampai kadang aku harus dibangunkan.
Haih, apalah...
Yang pasti aku selalu bersyukur setiap kali bermimpi buruk, karena aku tahu bahwa itu hanya ada dalam tidur.
Monday, June 22, 2009
Uang Receh
Malam itu di angkringan Kali Code, aku berpura-pura menjadi melarat dengan menyantap nasi bungkus berisi lima sendok dengan lauk beberapa gelintir teri atau beberapa potongan kecil tempe, yang populer disebut nasi kucing, sebagai menu makan malam.
Bersama tiga orang teman, kami bercengkerama, berlagak menikmati kesahajaan menyebut diri membumi. Padahal yang sebenarnya adalah, kami hanya gagal mendapat tempat di angkringan ber-hotspot yang bernama House of Raminten.
Duduk lesehan di atas gelaran tikar, menyediakan receh untuk pengamen dan peminta-minta yang lalu lalang.
Lewat pengamen waria dengan dandanan seperti Dewi Perssik membawakan lagu "Ketahuan".
Lalu ada peminta-minta usia remaja yang berwajah murung.
Dan Nenek-Nenek yang berjalan tertatih-tatih, berucap, "Den, pareng, Den.."
Anak gadis bersuara lantang membawa ecrek-ecrek yang terbuat dari tutup botol.
Ibu-Ibu nyinden.
Pemuda gagah memetik gitar "Seize the Day" milik Avenged Sevenfold.
Sampai....
Lewatlah seorang anak perempuan berumur sekitar 8 tahun meminta uang makan.
Aku sudah terbiasa bertemu dengan mereka. Hatiku sudah terlatih untuk shock, tersentuh, dan merasa normal lagi di menit berikutnya.
Tapi di belakang gadis kecil ini, berjalan adiknya.
Kecil. Memakai celana panjang putih. Kepalanya ditutup rapat dengan kupluk jaketnya. Sepatunya pun rapat tertutup berwarna putih.
Masya Allah!
Umurnya tak lebih dari 2 tahun!
Siti Munawaroh namanya.
Anak itu seumuran Uwen!
Dan itu sudah jam 10 malam.
Pada jam itu Uwen pasti sudah tidur, hangat, kenyang, dicintai, banjir perhatian, masa depannya sudah dipersiapkan.
Tak jelas apa yang mendorongku meraih anak itu. Kupangku ia. Kudekap. Kucium.
Demi Tuhan. Dia masih kecil.
Ia menguap, dan kurasakan badannya mulai melemas dalam dekapanku.
Kemudian si Kakak menariknya, mengajak berkeliling lagi.
Ya Allah.
Ya Allah.
Selain uang kecil yang kuberikan untuknya, apa lagi yang bisa kulakukan untuk menghilangkannya dari bayangan mataku?!
Tolong!
Bersama tiga orang teman, kami bercengkerama, berlagak menikmati kesahajaan menyebut diri membumi. Padahal yang sebenarnya adalah, kami hanya gagal mendapat tempat di angkringan ber-hotspot yang bernama House of Raminten.
Duduk lesehan di atas gelaran tikar, menyediakan receh untuk pengamen dan peminta-minta yang lalu lalang.
Lewat pengamen waria dengan dandanan seperti Dewi Perssik membawakan lagu "Ketahuan".
Lalu ada peminta-minta usia remaja yang berwajah murung.
Dan Nenek-Nenek yang berjalan tertatih-tatih, berucap, "Den, pareng, Den.."
Anak gadis bersuara lantang membawa ecrek-ecrek yang terbuat dari tutup botol.
Ibu-Ibu nyinden.
Pemuda gagah memetik gitar "Seize the Day" milik Avenged Sevenfold.
Sampai....
Lewatlah seorang anak perempuan berumur sekitar 8 tahun meminta uang makan.
Aku sudah terbiasa bertemu dengan mereka. Hatiku sudah terlatih untuk shock, tersentuh, dan merasa normal lagi di menit berikutnya.
Tapi di belakang gadis kecil ini, berjalan adiknya.
Kecil. Memakai celana panjang putih. Kepalanya ditutup rapat dengan kupluk jaketnya. Sepatunya pun rapat tertutup berwarna putih.
Masya Allah!
Umurnya tak lebih dari 2 tahun!
Siti Munawaroh namanya.
Anak itu seumuran Uwen!
Dan itu sudah jam 10 malam.
Pada jam itu Uwen pasti sudah tidur, hangat, kenyang, dicintai, banjir perhatian, masa depannya sudah dipersiapkan.
Tak jelas apa yang mendorongku meraih anak itu. Kupangku ia. Kudekap. Kucium.
Demi Tuhan. Dia masih kecil.
Ia menguap, dan kurasakan badannya mulai melemas dalam dekapanku.
Kemudian si Kakak menariknya, mengajak berkeliling lagi.
Ya Allah.
Ya Allah.
Selain uang kecil yang kuberikan untuknya, apa lagi yang bisa kulakukan untuk menghilangkannya dari bayangan mataku?!
Tolong!
Friday, June 19, 2009
Guilty Pleasure
Perih.
Tak kusangka melakukan suatu aktivitas yang begitu standar dan menyenangkan seperti makan bisa membuatku kena masalah. Bukan karena perutku menolaknya, bukan pula karena aku tak suka rasanya. Justru aku sangat suka, dan seperti semua kenikmatan lain, aku terus-terusan melakukannya sampai lidahku lecet dan bibirku terasa asin.
Makan kwaci.
Kau masih ingat kan, cemilan ini begitu populer waktu kita kecil. Aku tak tahu kandungan gizinya, yang kutahu hanyalah bahwa makan kwaci ini begitu mengasyikkan.
Lama aku tak pernah lagi makan kwaci. Kemarin, tiba-tiba aku melihat di atas meja makan ada sebungkus besar kwaci biji bunga matahari. Seketika aku menyambarnya dan berkumpul bersama orang rumah sambil tak henti-henti menelateni kwaci, mengabaikan hal lain yang membutuhkan perhatian kami, sambil cekikikan menghitung kegembiraan kami pada kesenangan yang lugu ini. Semacam nostalgia, kami tak henti-henti bercerita tentang pengalaman makan kwaci ketika kecil, dan hal itu merembet pada cerita lain.
Ukurannya tak lebih dari kuku jari kelingking, penampilan luarnya kisut dan jelek, dan isinya pun tak terasa istimewa. Malah mendekati hambar. Tapi entah kenapa cemilan ini begitu adiktif. Kata orang, karena diperlukan suatu usaha yang keras untuk bisa menikmati isinya, jadilah dagingnya itu menjadi sangat berharga.
Hm, definisi yang filosofis.
Memang perlu teknik tersendiri untuk memakan kwaci, tak asal buka dan telan saja. Teknik ini sepertinya secara alami kita pelajari waktu kecil dulu. Kombinasi antara menggigit dan menjulurkan lidah. Dan untuk melakukannya, dibutuhkan konsentrasi dan posisi yang mapan, tak bisa disambi dengan hal lain.
Ya, mungkin bisa, tapi hanya dengan satu tangan. Dan dengan separo perhatian tertuju pada kulit dan isinya yang berlomba itu, ada kemungkinan tertukar antara kulit dan isi sehingga bisa-bisa kita menelan kulitnya dan membuang isinya, bisakah kita, paling tidak, 80% mengerjakan hal lain?
Kurasa inilah pembeda kwaci dan cemilan lain.
Sekali memakannya, kita tak bisa berhenti. Baru terasa akibatnya bila mulut sudah jontor, dan saat itu pun, kita terus melakukannya sampai habis atau bila kita terpaksa harus melakukan hal lain.
Semacam guilty pleasure?
Jadi, apa guilty pleasure-mu?
Main internet tak sudah-sudah walaupun jam dinding menunjukkan jam 11 siang, sementara pekerjaanmu belum ada yang beres?
Melirikkan mata beberapa derajat dari pacarmu ke arah makhluk sexy itu?
Mengantongi sabun dan shampo hotel?
Nyolong mangga?
Nonton bokep?
Membatalkan puasa sebelum bedug Magrib?
Bila kau tanya aku, wah, daftarnya bisa menjadi sangat panjang.
Seingatku daftar itu sudah kumulai sejak aku masih 4 tahun, ketika setiap hari aku membuang susu yang harus kuminum ke petak bunga. Aku merasa bersalah, tapi juga ada rasa senang yang aneh ketika aku berpikir aku bisa mengelabui orang tuaku.
Mana pernah aku menyangka waktu itu, bahwa Ayahku yang setiap sore menyiram tanaman bisa melihat kenapa bunga-bunganya bisa berwarna putih.
Tentu analoginya tak terbatas, dan contohnya bisa diperlebar.
Tapi untuk sementara ini, kwaci inilah yang begitu menyentuhku. Karena aku masih tak bisa berhenti walaupun sudah lecet, separo jontor, dan perutku menggelegak karena belum diisi nasi sejak siang.
Bahkan sekarang pun, asal kau tahu, membutuhkan waktu yang lama untuk menuliskan cerita sederhana ini, karena aku melakukannya sambil makan kwaci.
Atau makan kwaci sambil menulis?
Ups,
Tertukar lagi, aku lagi-lagi menelan kulitnya dan membuang isinya.
Makan kwaci itu memang tak boleh diselingi dengan kegiatan lain.
Tak kusangka melakukan suatu aktivitas yang begitu standar dan menyenangkan seperti makan bisa membuatku kena masalah. Bukan karena perutku menolaknya, bukan pula karena aku tak suka rasanya. Justru aku sangat suka, dan seperti semua kenikmatan lain, aku terus-terusan melakukannya sampai lidahku lecet dan bibirku terasa asin.
Makan kwaci.
Kau masih ingat kan, cemilan ini begitu populer waktu kita kecil. Aku tak tahu kandungan gizinya, yang kutahu hanyalah bahwa makan kwaci ini begitu mengasyikkan.
Lama aku tak pernah lagi makan kwaci. Kemarin, tiba-tiba aku melihat di atas meja makan ada sebungkus besar kwaci biji bunga matahari. Seketika aku menyambarnya dan berkumpul bersama orang rumah sambil tak henti-henti menelateni kwaci, mengabaikan hal lain yang membutuhkan perhatian kami, sambil cekikikan menghitung kegembiraan kami pada kesenangan yang lugu ini. Semacam nostalgia, kami tak henti-henti bercerita tentang pengalaman makan kwaci ketika kecil, dan hal itu merembet pada cerita lain.
Ukurannya tak lebih dari kuku jari kelingking, penampilan luarnya kisut dan jelek, dan isinya pun tak terasa istimewa. Malah mendekati hambar. Tapi entah kenapa cemilan ini begitu adiktif. Kata orang, karena diperlukan suatu usaha yang keras untuk bisa menikmati isinya, jadilah dagingnya itu menjadi sangat berharga.
Hm, definisi yang filosofis.
Memang perlu teknik tersendiri untuk memakan kwaci, tak asal buka dan telan saja. Teknik ini sepertinya secara alami kita pelajari waktu kecil dulu. Kombinasi antara menggigit dan menjulurkan lidah. Dan untuk melakukannya, dibutuhkan konsentrasi dan posisi yang mapan, tak bisa disambi dengan hal lain.
Ya, mungkin bisa, tapi hanya dengan satu tangan. Dan dengan separo perhatian tertuju pada kulit dan isinya yang berlomba itu, ada kemungkinan tertukar antara kulit dan isi sehingga bisa-bisa kita menelan kulitnya dan membuang isinya, bisakah kita, paling tidak, 80% mengerjakan hal lain?
Kurasa inilah pembeda kwaci dan cemilan lain.
Sekali memakannya, kita tak bisa berhenti. Baru terasa akibatnya bila mulut sudah jontor, dan saat itu pun, kita terus melakukannya sampai habis atau bila kita terpaksa harus melakukan hal lain.
Semacam guilty pleasure?
Jadi, apa guilty pleasure-mu?
Main internet tak sudah-sudah walaupun jam dinding menunjukkan jam 11 siang, sementara pekerjaanmu belum ada yang beres?
Melirikkan mata beberapa derajat dari pacarmu ke arah makhluk sexy itu?
Mengantongi sabun dan shampo hotel?
Nyolong mangga?
Nonton bokep?
Membatalkan puasa sebelum bedug Magrib?
Bila kau tanya aku, wah, daftarnya bisa menjadi sangat panjang.
Seingatku daftar itu sudah kumulai sejak aku masih 4 tahun, ketika setiap hari aku membuang susu yang harus kuminum ke petak bunga. Aku merasa bersalah, tapi juga ada rasa senang yang aneh ketika aku berpikir aku bisa mengelabui orang tuaku.
Mana pernah aku menyangka waktu itu, bahwa Ayahku yang setiap sore menyiram tanaman bisa melihat kenapa bunga-bunganya bisa berwarna putih.
Tentu analoginya tak terbatas, dan contohnya bisa diperlebar.
Tapi untuk sementara ini, kwaci inilah yang begitu menyentuhku. Karena aku masih tak bisa berhenti walaupun sudah lecet, separo jontor, dan perutku menggelegak karena belum diisi nasi sejak siang.
Bahkan sekarang pun, asal kau tahu, membutuhkan waktu yang lama untuk menuliskan cerita sederhana ini, karena aku melakukannya sambil makan kwaci.
Atau makan kwaci sambil menulis?
Ups,
Tertukar lagi, aku lagi-lagi menelan kulitnya dan membuang isinya.
Makan kwaci itu memang tak boleh diselingi dengan kegiatan lain.
Subscribe to:
Posts (Atom)