Ini hanyalah pengganti, penyaru, hanya kefrustasian yang adalah pelarian dari rangkaian cerita yang sudah disusun sedemikian panjang.
Aku tak mampu memberitakan senada hitam yang aku tahu tak boleh disebar
Rupanya kejujuranku terhadang oleh nurani yang sering kuabaikan untuk diriku sendiri, tapi selalu kusaring dengan begitu rapatnya bila menyangkut orang lain.
Sering pula, kujadikan diriku sendiri sebagai kambing hitam. Mengambil tali pancung yang sejatinya bukan hukumanku.
Martir, kau bilang ?
Bukan.
Aku hanya sedang naïf.
Bukan pula karena aku tak punya keberanian yang tak sampai seketikan kuku Pram, atau seniman lain yang terpenjara karena menyanyikan dendamnya …
Tapi karena aku sungguh tak sanggup manyakiti yang kusayang, menyinggung orang yang disayang kesayanganku.
Jadi di sini hanya ada tiga paragraf terakhir dari tulisan aslinya..
Sang Putri jelmaan termakan budi sampai tak bisa bernafas manabila rantai makanannya terputus.
Dan ia, tak lupa juga, dengan kebajikan seorang teman yang penyayang, memberikan sebutir pasir dari gunungan kemewahan budi yang dikaruniakan padanya.
Sebutir pasir yang dimaksudkan sebagai jerat budinya bagi si teman yang tak beruntung.
Untuk bisa menjadi dayangnya. Menjadi juru bicaranya. Menjadi alibinya.
Dan si dayang yang tak rela itu berontak.
Ia tahu ia lebih tinggi harganya..
Budi itu tak ia minta, tak diharapkannya, tak juga ia nikmati.
Kepadamu, aku bicara.. wahai orang yang terlahir sebagai pemimpin, berhentilah mengambil tempat di belakang.