Tuesday, October 5, 2010

Turn Back Time

Sudah sejak kecil aku sangat tergila-gila dengan mesin waktu, dan apa pun yang bisa membawaku kembali ke masa lalu.
Seorang temanku berkata bahwa masa lalu tak ada gunanya untuk dilihat lagi, kecuali untuk belajar. Ia berkata bahwa spion itu lebih kecil dari kaca depan.

Tapi benar, aku ingin sekali kembali. Ada yang ingin kuperbaiki di belakang sana.
Seandainya mungkin, aku ingin mundur ke waktu 12 tahun yang lalu.
Apakah terlalu berlebihan?

Huffhh..
Itu lah mengapa Doraemon will always be my idol, dan Back to The Future milik Steven Spielberg, dan oh ya, juga buku ketiga Harry Potter.

Seandainya bisa hidup di dunia fantasi.
Tapi apa bisa dikata, hidup memang selalu mengarah ke depan. Jangankan mundur, berhenti pun kita tak bisa.

Aku ingin mengucap maaf atas kesalahan yang tak kusadari. Maaf yang hanya akan menjadi hambar bila dipinta sekarang.
Aku ingin menyelesaikan kuliahku lebih cepat, supaya aku tak perlu menyematkan istilah teror di setiap telepon Ibuku.
Aku ingin merangkul lagi persahabatan yang sudah mengantarku dewasa, dan entah kenapa diputus oleh egoku sendiri.
Aku ingin memenangkan kembali hati seorang laki-laki.
Aku ingin berkata tidak.
Aku ingin memutar waktu dan menjalaninya dari awal lagi. Karena seandainya saja aku tak berbelok waktu itu, maka hari ini tak kan sama.

Tapi katanya, melihat ke belakang ke masa lalu itu menentang sunnah.
Jadi hari ini, walaupun terseok-seok, kulakukan segalanya yang kubisa, supaya besok aku takkan berkata "if only I could turn back the time."


Friday, July 30, 2010

Shrimp's Heart is in Its Head

"Hati udang itu ada di kepalanya."

Pertama kali aku mendengar pepatah ini, aku merasa ditampar. Aku dipaksa melihat ke diriku sendiri dan menyadari seberapa parah perubahan tata hati dan otakku.
Hati itu seharusnya ada di kepala, atau paling tidak, hati itu jangan kalah pada isi kepala. Mereka seharusnya berdekatan, jangan pernah saling bertentangan. Aku hanya bisa memahami satu maksud dari ini, bahwa apa pun yang terjadi, kepala harus bisa mengontrol hati.

Detik itu juga rasanya aku ingin menjadi udang. Hatinya tak jauh-jauh dari otak. Seandainya begitu, takkan pernah lagi aku merasa kesusahan mempertahankan logikaku tetap di kepala.

Takkan pernah lagi mungkin aku mendengar sahabatku satu itu berkata, logika dan hatinya tak sinkron.
Hati dan otak ada di satu tempat. Hati yang tugasnya merasa itu tempatnya ada di mana pikir berada. Bila sudah begitu, hati dan logika mungkin tak akan bertengkar lagi.

Tentu saja kemudian aku punya dua cara memahami pepatah ini.
Yang pertama, udang tak akan mengikuti dorongan hati saja, karena otaknya siap menimbang baik buruknya.
Atau yang kedua, begitu dekatnya posisi hati si udang dengan otaknya, tapi itu pun tak bisa mencegahnya untuk selalu berjalan "mundur", tak mau maju, maka kemudian lazimlah udang dikatakan bodoh..?

Mendadak aku tak ingin lagi menjadi udang.
Aku bukan bodoh.


Wednesday, July 28, 2010

Dishonest

Hai, apa kabar?

Aku tak tahu, apakah kalian masih ingat aku?
Bila pun ingat, pernahkah kau bertanya, teman, mengapa aku menghilang?
Hiatus tanpa pamit?

Kujawab, dengan jujur, aku menghilang karena aku kehilangan kejujuranku. Hingga aku merasa malu untuk menulis dan berjumpa denganmu di tempat yang kunamai Honest ini.

Pernah suatu waktu ketika aku masih remaja dulu, Ibuku berkata, "Keistimewaanmu itu satu, kau jujur. Jagalah kepercayaan orang padamu, karena sekali kau merusaknya, rusaklah semuanya."

Kuiyakan saja.
Kuanggukkan saja kepalaku.
Manalah aku tahu apakah aku jujur atau bagaimana.
Tak pernah aku mencuri.
Tak pernah jua aku berbohong.
Bila itu yang mereka namakan jujur, maka mungkin aku jujur.

Honest.
Kejujuran buatku adalah, bila aku mengatakan apa yang harus kukatakan. Bila aku mengakui hal yang mungkin tak mau atau malu diakui orang lain.
Tapi bila dengan sadar aku mendustakan sebuah kenyataan, masih pantaskah aku dianggap sebagai orang jujur ?

Apakah ketidakjujuran, kawan ?
Bila kau berbohong ?
Atau bila kau menutupi sesuatu ?

Pernah kulakukan kedua-duanya untuk menyelamatkan sesuatu yang kunamai masa depanku, dan sekarang, karena sudah tahu cara dan bagaimana berbohong dan menutupi sesuatu, aku merasa seolah-olah dikutuk untuk selalu waspada dan mengenali setiap gejala dan kejanggalan.

"Apakah dia sedang membohongiku?"
"Apa yang dia sembunyikan di belakangku?"


Template has been modified and taken from this site