Kampungku gempar semalam, katanya ada maling.
Dan rumahku gempar tadi sore, karena kami baru mendengar ceritanya hari ini.
Jangan tanyakan kenapa kami baru tahu ini tadi, karena aku pun yang masih bangun pada jam 2 malam waktu kejadian itu, tak mendengar apa-apa.
Kami di kampung ini -rumah ini ada dalam gang, ingin kusebut kompleks tapi ya bukan- tak pernah punya kejadian yang heboh-heboh betul, dan aku pun memang tak begitu peduli dengan gosip tetangga. Seringkali aku hanya menjadi pendengar ke sekian dari mata rantai gosip ini, hingga selalu di mana pun aku berada, aku adalah orang yang terakhir tahu.
Aku baru tahu pohon mangga yang sering kucolong di kebun tetangga itu ditebang, padahal pohon itu ada di belakang rumahku. Jangankan itu, siapa Ketua RT yang baru pun aku tak tahu, jadi wajar sajalah bila pemilu kemarin itu aku tak terdaftar. Dan aku juga baru tahu ini, bahwa rumah tetangga di sebelah itu semalam hampir dimaling.
Katanya, malam itu sekitar jam 2, si Mbak penjaga rumah mendengar ada suara seperti menggaruk-garuk di dinding. Dan ketika dicek, ia melihat ada tangan terjulur lewat lubang angin di atas pintu.
Kontan si Mbak berteriak dan langsung menghambur keluar rumah. Menurutku tindakan ini adalah refleks Si Mbak yang luar biasa berani, karena ia lupa untuk berpikir bahwa mungkin saja si calon maling itu adalah orang kejam dan berkawan, yang bisa saja berbuat sesuatu yang bisa membuat Si Mbak untuk terpaksa diam.
Untunglah, di luar, Si Maling sudah tak kelihatan, mungkin kaget dengan teriakan Si Mbak. Kemudian beberapa warga kampung yang ronda dan pemuda yang biasa nongkrong mendengar keributan. Entah apa alasannya, padahal tak ada yang sempat dicuri, mereka memanggil polisi. Tiga sekaligus yang datang!
Aku tak tahu persis kejadiannya bagaimana, tapi katanya, di antara kerumunan itu rupanya sudah sejak awal si maling menyaru menjadi orang yang ikut penasaran dengan keributan itu. Ia bahkan bertanya, “Ono opo tho Kang, kok ribut-ribut?”
Tak ada yang curiga pada maling berperawakan kecil ini, padahal wajahnya tak familiar. Dan baru terpikir sekarang, kenapa ia sebagai orang luar berada di kampung sini pada jam 2 pagi?
Maka saat itulah, entah karena analisa yang memang hebat ataukah hanya karena ia sudah begitu sering berhadapan dengan kasus serupa, seorang polisi melihat ada bekas putih di kaki si maling, yang menandakan bahwa ia baru saja memanjat dinding rumah tetanggaku itu dalam usaha menggapai lubang udara.
Tertangkaplah ia, dan berikutnya ditemukan beberapa bukti yang memberatkan.
Kisah selanjutnya di kantor polisi ?
Ah, tak usahlah kuceritakan, kau toh sudah tahu.
Saat aku mendengar kejadian ini, tanpa kukehendaki aku merasa kagum pada kerja si polisi. Hanya dia yang menyadari ada keganjilan di kaki si maling. Orang-orang lain mana sadar, paling hanya ada yang sok-sokan tahu ketika si maling sudah tertangkap, bahwa katanya dia sudah dari awal curiga.
Bah, gayanya saja kuat.
Membayangkan bagaimana cara kerja polisi itu, aku langsung teringat dengan Hercule Poirot dan Conan, dua detektif yang punya kemampuan analisa yang mendalam meskipun mereka hanyalah tokoh fiktif.
Conan hanya perlu menghubung-hubungkan fakta ganjil, dan setelah itu ia akan meminjam suara Detektif Mouri. Atau favoritku Hercule Poirot, yang tak peduli pada sidik jari ataupun bukti yang jelas berupa pistol di lemari baju, misalnya. Poirot berkata, temukanlah fakta dan singkirkan opini. Buatlah pembeda antara keduanya.
Dan dari sana, walaupun telah diputar-putarkan sampai ke beberapa negara sekalipun, sel-sel kelabunya akan menemukan jawaban teka-teki itu tepat di hadapan mata.
Terberkatilah orang yang punya analisa yang kuat, atau mungkin dalam hal ini kepekaan dalam melihat suatu kejadian atau keadaan yang tak biasa.
Aku tak berbakat di sana.
Aku ini tak peka, kecuali untuk hal-hal yang menjadi perhatianku, dan parahnya itu sedikit sekali.
Memang susah untuk menjadi orang yang terlalu asyik dengan dunia sendiri, sampai tak peduli ada tetangga yang disambangi maling, padahal saat itu aku sedang berkutat dengan komputer di kamar.
Jaraknya hanya dua bukaan pintu, tapi aku tak mendengar apa-apa.
Saat aku mengungkapkan keprihatinanku pada tetangga sebelah, seorang tetangga lain menyelutuk, “Piye tho Mbak, kok bisa ketinggalan gosip hangat.”
Aku hanya menyeringai. Susah menanggapi orang bergosip. Mau bilang aku tak suka bergosip, kok ya kedengarannya kasar. Aku ini kan pendatang, belum genap 3 tahun aku di sini. Apa pula lah nanti kata mereka, sedang pulang kerja jam 12 malam pun aku pernah digunjing.
Haiyah …
Memang aku tak peduli gosip, tapi sebenarnya aku tak tahu, apakah aku ini tak suka gosip atau hanyalah tak peka.
Entah kenapa orang-orang di sekitarku bisa membuat perbedaan keduanya hanya setipis tirai jendela, sampai pernah aku dihinggapi satu jenis rasa aneh yang mendekati malu ketika suatu saat aku bertanya siapa nama istri Pasha, dan aku dijawab bahwa mereka sudah bercerai.
“Huu, dasar ketinggalan zaman.” Kata temanku waktu itu.
Heh?! Sejak kapan tak tahu gosip artis itu dianggap ketinggalan zaman?
Tuesday, June 16, 2009
blog comments powered by Disqus