Friday, May 1, 2009

Rambut Boleh Sama Hitam ....

Dalam hati siapa yang tahu.

Tentu orang kita zaman dulu bukan iseng belaka membuat pepatah demikian. Berjuta-juta-juta-juta manusia di bumi ini, Indonesia khususnya, atau wilayah mana pun yang berambut asli hitam, tentu punya sifat yang berbeda.

Dengan sedikit modifikasi lancang, kurubah menjadi "Rambut boleh sama hitam, tapi cara berpikir pasti berbeda.."
Bukannya kenapa, tapi menurutku di bawah rambut kita yang berwarna hitam ini, bersemayam otak yang punya kemampuan menggiring cara berpikir kita, tindak tanduk dan bahkan juga kepribadian.
Ah, tak usahlah aku jauh-jauh membandingkan perbedaan antara apa yang ada di pikiran Calon Presiden dan Bakul Mi Ayam hari ini, saat ini, karena saudara kembar saja bisa berbeda.

Bila kutanyakan padamu, faktor apa saja yang mungkin mendorong perbedaan ini, pasti akan ada banyak jawaban dan pendapat, kan ..??
Nantilah kemukakan soal itu, sekarang mungkin yang ada di pikiranku adalah contoh kasusnya saja ...

Suatu hari Mbak Pembantu di rumahku bergosip tentang tetangganya di kampung yang belum menikah.
Sebelumnya ku-pause dulu cerita Si Mbak ini, untuk sekedar memberitahumu bahwa kampung yang diceritakannya itu cuma berjarak belasan kilometer saja di utara rumahku, di daerah yang bernama Kalasan.
Nah, beginilah jalannya gosip pagi itu ..
Si Mbak : ”Mbak Mir itu perawan tua lho, Mbak .. sudah gak ada yang mau lagi ..”
Aku : ”Emang umurnya berapa, Mbak ..?”
Si Mbak : ”Sudah 25 tahun.”
Aku : "?!"

Itu cerita pertama.

Cerita kedua, pada suatu ketika yang entah kenapa aku duduk bersama dengan kelompok ibu-ibu muda sedang arisan. Di tempat itu ada sebuah televisi berlayar datar dengan ukuran yang sangat menyenangkan untuk menonton siaran langsung sepak bola. Televisi itu menyiarkan acara gosip, yang kemudian digosipkan lagi oleh mereka (dan aku juga, kadang-kadang menimpali,, sambil dalam hati menggerutu pada presenternya yang sok dramatis itu) ..
Seorang Ibu yang duduk di sebelahku berkata, ”Oh iya, ntar pulang ini aku mau beli tabloid N*bip ah, isinya bagus-bagus.”
Aku yang merasa diajak bicara oleh Ibu itu, menjawab, ”O ya,, ada berita apa, Mbak ..?”
Si Ibu menjawab, ”Itu loh Jeng, Mayang Sari katanya melet Bambang, katanya dia pasang susuk di keningnya.”

Bukan mau mengatakan bahwa aku dan Ibu arisan itu punya pemikiran atau ketertarikan berbeda pada satu topik tertentu. Setiap perempuan pasti sama, pernah menonton infotainment, serendah apa pun intensitasnya. Mungkin itu hanya karena aku yang sok-sokan tak peduli gosip artis.
Tapi seandainya kau menjadi aku saat itu, apa yang kaupikirkan bila ada seseorang yang mengatakan bahwa media itu "isinya bagus-bagus.."?

Masalah kawin juga, aih, bagaimana mungkin ada perbedaan semencolok ini ...
Aku tertawa miris saat itu, miris karena di "dunia" tempat aku dan kau hidup ini, usia 25 tahun adalah usia awal seorang gadis mulai memikirkan pernikahan, sementara di kampung sana, usia itu berarti dead end. Usia di mana seorang gadis mendapatkan titel sosial yang disematkan dengan semena-mena oleh orang-orang di sekitarnya hanya karena belum sampai giliran mereka mendapatkan jodoh dari Tuhan.

Ada lagi perbedaan yang tak kuketahui bagaimana rasanya.
Tentang pasangan menikah yang selalu ribut karena berbeda pemahaman tentang arti kekeluargaan.
Apakah seperti yang dikata si istri yang menganggap bahwa milik orangtuaku adalah milik kita, atau seperti kata si suami yang berkeyakinan bahwa rumah tangga yang mereka bangun walaupun sambil merangkak adalah tanggung jawab mereka sendiri.

Atau cerita tentang seorang Ibu yang ingin anaknya selalu dekat dengannya. Tinggal bersamanya walaupun sudah dewasa. Ikut makan dan minum dalam rumahnya, hingga uang gajinya bisa disimpan sendiri.
Atau pendapat si anak yang mengatakan ingin hidup mandiri karena ingin memberikan kebanggaan pada keluarga dan khususnya pada dirinya sendiri, yang tak mau terus-terusan hidup di bawah ketiak orang tua ....

Aku tak tahu apa yang sedang kubicarakan saat ini.
Perbedaan pemikiran, cara pandang, ketertarikan, kegemaran, atau menyuarakan kedangkalanku sendiri.

Hanya saja, aku mempunyai satu permasalahan yang sudah kudiamkan bertahun-tahun dari sahabat-sahabatku.
Ada perbedaan yang cukup mencolok di antara kami. Perbedaan cara dalam memaknai sebuah kesenangan, liburan, atau sebuah kata sederhana, istirahat.

Sejak masih mahasiswa dengan banyaknya kegiatan yang dicari-cari, atau ketika aku menjadi begitu sibuk dengan pekerjaan dan kemudian ketika punya banyak waktu luang.

Istirahat yang ideal bagiku adalah diam di rumah, membaca atau hanya sekedar menonton DVD...
Sementara pada waktu libur begitu mereka biasanya menarikku untuk bersenang-senang di luar. Aku tak tahu apakah bagi mereka diam di rumah itu kulakukan karena aku tak punya kegiatan lain yang lebih menarik, atau bagaimana ...

Kubiarkan ini mengganjal hatiku selama ini, karena aku tahu sungguh mereka tak berniat menggangguku, hanya ingin mengajakku bersenang-senang, sebagai bentuk rasa sayang.
Tapi untuk beberapa situasi aku sangat ingin mengatakan tidak tanpa harus mendapat protes.

Bagaimana cara memberitahu bahwa bagiku duduk diam membaca dalam sepi itu sama menyenangkanya dengan mereka mengitari mall yang ramai ?
Bagaimana cara memberitahu bahwa bagiku bau buku yang baru dibeli itu sama menggiurkannya dengan mereka mencium bau baju baru ?
Bagaimana cara memberitahu bahwa masuk ke museum itu bagiku sama menggairahkannya dengan mereka menjelajahi deretan distro ?
Bagaimana cara memberitahu bahwa berwisata keluar kota itu tak perlu dihabiskan dengan mendatangi setiap tempat belanja ?

Ou,, sebelum kau bepikir bahwa aku adalah kutu buku aneh yang anti sosial macam tokoh menyedihkan di film remaja Hollywood, kuberitahu bahwa aku pun senang bepergian, punya ketergantungan pada alat make-up bernama eye liner, merasa sangat bahagia bila memakai baju baru, tergiur dengan koleksi sepatu Carrie Bradshaw .. dan seperti perempuan lain, menjadikan belanja sebagai terapi patah hati paling ampuh.

Tapi,, ah ... aku tak bisa berkaca dengan sempurna bila menggunakan cermin milikku sendiri.
Mungkin aku hanya egois.
Mereka selalu ada untukku, mendukungku bahkan dalam kondisi terparah sekali pun, kenapa harus kubuat sesulit ini untuk berbagi kesenangan ...??


blog comments powered by Disqus
Template has been modified and taken from this site