Monday, April 6, 2009

Kusebut Mereka Seniman yang Hidup di Jalan

Kau tau..
Setiap kali long weekend, dan aku mendapati tiba-tiba jalanan di Jogja menjadi dua kali lebih padat dari biasanya,, aku selalu tergoda untuk ikut juga ke Malioboro....
Aku selalu bilang, saat-saat itu Jogja menjadi berat sebelah, oleng ke Barat dan Selatan, sementara kota bagian Utara dan Timur ringan tak ada yang mengawasi...

Jadi aku berkata pada diriku sendiri, weekend ini untuk mereka, minggu besok giliranku ke sana.
Dan Malam Minggu tadi aku ke sana..
Tujuannya hanya untuk makan, jadi aku dan dua orang teman ke Malioboro pada jam 9 malam, di saat toko-toko sudah tutup dan sekarang giliran lesehan mulai menjajakan dagangan persis seperti "Yogyakarta" yang dikata Kla Project.
Aku kangen merasakan sambel mentah di Lesehan Terang Bulan.
Yah, kita bisa bilang semua rasa lesehan itu seolah sama, tapi entah kenapa Malioboro selalu membuatnya luar biasa...
Dan pengamen yang menyanyi, memainkan gitar, dan berani menanyakan pada kita :
"Ada request, Mbak...?"

Dan mulailah rangkaian lagu-lagu dari masa muda Ayahku terdengar..
Nothing's gonna change my love for you
You ought to know by now how much I love you ..
One thing you can be sure of
I'll never ask for more than your love...

Dua orang seniman jalanan, pria berusia sekitar 40-an. Memainkan gitar, dengan suara yang ditelingaku yang tuli nada saja terdengar sangat indah, bersahut-sahutan antara yang bass dan sopraan..

Aku terhanyut dengan kenangan pada lagu itu, juga terpesona dengan senyum dan mata mereka ketika menyanyi.
Tanpa kukehendaki, di kepalaku tercipta sebuah plot, di mana mereka berdua adalah tokoh utamanya.
Dua orang laki-laki, kepala rumah tangga.. Mungkin mereka adalah lulusan Seni Musik Insitut Seni Indonesia, dan sehari-hari bekerja sebagai guru musik di Sekolah Menengah.
Mengajarkan musik pada anak-anak sekolah yang berkeinginan menciptakan musik sehebat Muse dengan instan, tapi tak terlalu peduli pada proses penciptaan musik itu sendiri, tentang pengetahuan dasar musik, dan irama seperti yang mereka hayati di bangku kuliah dan juga di setiap malam menapaki Malioboro selama berpuluh tahun.

Aku membayangkan anak-anak mereka pun tak terlalu peduli pada nada mereka yang istimewa. Anak-anak itu lebih menyukai lagu-lagu siap pakai yang dapat didownload dengan bebas di internet.
Aku pun seolah bisa melihat istri-istri mereka, yang tak begitu peduli kecintaan mereka, selama masih pulang membawa uang dengan jumlah lumayan.
Mungkin penghargaan dari orang-orang sekitar mereka sungguhlah sedikit..

Bergiliran lagu-lagu lama Sepanjang Jalan Kenangan, Diana, Gereja Tua kudengarkan dengan ketertarikan yang sanggup membuatku lupa betapa pedasnya sambel mentah itu, bahkan juga menyingkirkan perhatianku dari pasangan homo di sebelah tempat dudukku, yang Masya Allah,, gantengnya luar biasa
....
Kubayangkan mereka, dua orang seniman ini, sedang berada di situasi yang lumayan pelik, antara idealisme musik mereka, dan tuntutan tingkat tinggi yang bernama kebutuhan rumah tangga...

Dan lagu terakhir yang kudengar adalah Boulevard...
Yang rasanya masih terngiang-ngiang di telingaku ketika aku teringat pada seniman jalanan lain, yang bila jadwal kuliahnya tak sampai sore, selalu terlihat perform di Boulevard UGM...
Aku bertemu dengannya ketika aku makan di Lesehan Banyuwangi, di sepanjang barat Graha Sabha Pramana..
Hotel California dan bad boy look-nya membuatku tertarik. Dan dari sana kami berteman..

Setengah tahun kemudian, tiba-tiba aku tak lagi melihatnya di sekitaran UGM... Rupanya katanya, dia dikeroyok oleh rombongan pengamen lain di Jalan Solo.. yang mengakibatkan handphone-nya rusak dan menghancurkan gitarnya.
Kecemburuankah...?? Atau masalah perebutan lahan ...??

Sepertinya iya, aku tak tahu pasti... Sekarang dia sedang serius dengan skripsinya, tapi dia tetap menyebut dirinya seniman jalanan.

Ya, bila kau lihat pengamen di sepanjang Graha Sabha, mereka rata-rata mahasiswa yang menyanyikan lagu-lagu populer..
Dan bergerak ke utara, antara lampu merah Bulaksumur dan Kentungan, di sepanjang Jalan Kaliurang KM 4 sampai KM 6, setiap malam kau juga pasti akan menemukan Mr. Beatles.
Kusebut dia Mr. Beatles, karena dia selalu, selalu memainkan lagu-lagu The Beatles. Kau pasti akan langsung mengenalinya, rambutnya sudah berbentuk bob dengan poni itu sejak aku pertama kali melihatnya, jauh sebelum Changcutters muncul di TV.

Alat musik yang dimainkannya adalah gitar, dan harmonika yang dikalungkan di lehernya dengan seutas kawat kecil yang dibentuk sedemikian rupa sehingga harmonika itu jatuh tepat di mulutnya. Dia tak menyanyi, harmonika itulah nyanyiannya, gitar itu instrumen utamanya, dan seluruh tubuhnya memainkan musik itu. Kepala, kaki, mata....

Dia akan menolak diberi uang bila lagunya belum selesai. Dia akan perform sampai nada terakhir. Dan di ujung lagu, dia akan menutupnya dengan sempurna :
"[Judul, misalnya] Yesterday, dari Beatles..."

Baru kemudian, dengan senyum gembira dan anggukan terimakasih, dia menerima setiap receh yang diulurkan oleh mereka yang sedang menikmati makan malam, yang kebanyakan malah berbisik-bisik di belakangnya.

Aku kerap bertemu Mr. Beatles, hampir setiap malam. Cukup aku berjalan keluar gang sekitar 50 meter. Di sana, di lesehan dan angkringan itu, pasti ada dia...
Kata orang, dia sudah perform di Jalan Kaliurang sejak 20 tahun lalu.
Aku tak tahu.. tak juga ingin mencari tahu.
Aku bahkan tak pernah menyapa ketika berpapasan dengannya.
Seolah aku takut, kemisteriusan dan keistimewaannya akan hilang bila aku mengenalnya.
Dia, urban legend.
Da tak pernah berubah.

Bertolak belakang dengan perubahan ekstrim yang kutemui di Podjok Beteng Wetan..
Tahun pertama aku kuliah, aku lihat anak muda itu duduk-duduk di sana bersama teman-temannya, nongkrong, merokok, ndhobos, saling mengumpat dengan pisuhan khas Jogja..
*bip.. bip.. bip* (suara sensor :)

Sekitar dua tahun kemudian.. kulihat ia tak lagi di sana bersama teman-temannya.. Setelah kuperhatikan, ternyata dia sekarang mengamen, menghampiri setiap pengendara di lampu merah JokTeng Wetan dengan sepetik dua petik gitar...

Setelah lama aku tak lagi melewati daerah itu, terakhir kulihat dia duduk-duduk lagi di tempatnya semula.
Sendirian, gondrong, kotor, cengengesan, gila...!

Ada yang berubah, ada yang tetap seperti saat pertama kita temui.
Inilah yang mungkin menjadikan kota ini penuh kenangan, bagi orang-orang yang sudah meninggalkannya, ataupun pendatang yang selalu ingin kembali....

Jauh malam setelah itu, setelah menonton kemenangan Liverpool Vs Fullham, aku pulang.
Di jalan aku sempat melihat Heri.
Dia berjalan pulang entah ke mana, mungkin dari jalan Solo.
Kulihat dia bergerak kelelahan, roknya yang ketat membuat ia hanya bisa mengayun langkah kecil-kecil. Boot ber-hak tinggi yang dipakainya semakin mempersulit langkah kakinya yang selisih sekian senti dari kaki satunya. Make-upnya masih terlihat berkilauan ditimpa lampu jalan, tepat di kelopak matanya yang dihiasi eye shadow berwarna keperakan. Ketika aku melewatinya, kudengar kerincingan yang digenggamnya dengan setia di tangan kanan berbunyi pelan...

Tak ada foto untuk ku-upload. Aku tak bawa kamera,, atau tepatnya, aku tak menyangka akan bertemu dengan keajaiban Jogja yang -sebenarnya aku tahu dengan pasti- akan selalu kutemui di setiap sudutnya.


PS :
Ini tak ada hubungannya sama sekali dengan tulisan di atas. Tapi ....
Please check on my new comment thread that I got grom Disqus.
I hope you like it.


blog comments powered by Disqus
Template has been modified and taken from this site