Saturday, October 17, 2009

Trouble

Pada suatu malam, aku terjebak dalam segi empat kamarku demi mencoba menuruti saran sahabat baikku untuk mengurung diri saja di kamar bila datang stres.
Tak tahu apa yang harus dilakukan, aku merasa kosong.
Kompie eror, seperti biasa menuruti suasana hati dan pikiran juragannya. Membaca buku pun anehnya tambah membuatku gelisah. Sialnya lagi, DVD yang ada cuma drama, genre film yang alergi kutonton bila hati sedang kacau.
Jadilah aku hanya menyalakan televisi, dan berhenti pada satu channel yang menayangkan Safa dan Marwah.
Ya, sinetron itu!
Sinetron yang sepertinya menjiplak Prince & The Pauper.

Kurasa tak perlulah kuberitahu apakah aku suka atau tidak suka menonton sinetron.
Menurutmu ?

Jadi, tentang Safa dan Marwah.
Sepertinya dua anak gadis ini adalah saudara, atau kemungkinan malah kembar.
Safa adalah anak orang kaya dengan keluarga yang bahagia. Gadis satunya, Si Marwah, hanya hidup dengan Ibunya yang miskin. Ia harus bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya setelah Si Ibu tak lagi bisa bekerja karena sakit entah apa yang membuat perutnya luka.
Entahlah, aku tak pernah menonton episode-episode sebelumnya.

Jadi, di episode yang aku tonton itu, diceritakan konflik yang dihadapi dua anak ini.

Konflik Safa, adalah dilarang berhubungan dengan laki-laki yang disukainya, karena walaupun berakhlak baik, anak laki-laki ini tak berada. Safa sampai diskors dilarang keluar rumah karena itu. Hukuman itu membuat Safa sedih, selalu melamun, sampai tak berselera makan.

Sementara Marwah, diceritakan tak bisa membayar uang kontrakan, karena uang gajinya dijambret orang, sehingga ia dan Ibunya diusir oleh si induk semang. Mereka pun pergi menumpang bis tanpa tujuan. Tak tanggung-tanggung si penulis skenario membuat cerita, pada saat turun dari bis, barang-barang mereka, yang mungkin seluruh harta mereka terlambat diturunkan hingga terbawa bis. Jadilah mereka malam itu berjalan kaki tak tentu arah, belum makan, dan tak tahu harus bermalam di mana.
Setelah berjalan cukup jauh, tibalah konflik sesungguhnya. Tiba-tiba jahitan di perut Ibu Marwah terbuka dan berdarah. Marwah menangis meminta pertolongan kepada siapa saja yang lewat di pinggir jalan itu. Tak ada yang mau menolong, bahkan sopir taksi pun tak mau mengulurkan tangan setelah mengetahui bahwa calon penumpangnya itu tak punya uang sepeser pun. Akhirnya anak gadis yang tak punya uang itu hanya bisa menangis di pinggir jalan bersama Ibunya yang pingsan kesakitan.

Sampai di sini, cerita itu terpotong iklan, dan aku kemudian memindahkan channel. Berikutnya aku lupa untuk kembali lagi ke sinetron itu. Aku terlalu disibukkan dengan pikiranku sendiri tentang kejomplangan yang mereka alami.

Uang memang bukanlah penentu kebahagiaan. Contohnya saja Safa. Ia bisa makan enak, tapi tak bahagia ditiran oleh orang tua. Tapi Marwah, karena sama sekali tak punya uang, juga begitu menderita tak bisa menolong Ibunya yang kesakitan di depan matanya.

Semua orang memang punya masalah sendiri-sendiri, tapi bila kondisinya seperti Marwah yang berhadapan dengan ancaman nyawa Ibunya, dan permasalahan Safa berkaitan dengan cinta yang terhalang, bisakah dibandingkan ?

Begitulah kenapa aku merasa tak pantas untuk mengabarkan bahwa aku sedang bahagia di depan mereka yang terlilit masalah besar.
Tapi juga aku malu mengakui bahwa aku bersedih sementara kesedihan mereka jauh lebih perih.
Aku tak bisa membagi masalahku karena yang kuhadapi ini begitu sepele dibandingkan dengan masalah mereka.
Walaupun otak dan hatiku begitu capek seolah rasanya kaki di kepala dan kepala di kaki, aku memilih menyibukkan pikiranku sendiri dengan memikirkan masalah orang lain, supaya aku bisa terus menganggap bahwa masalahku ini tak ada artinya.

Tapi bila suatu ketika nanti duniaku runtuh, siapakah yang akan menopangkan langit untukku ??



Draft ditulis 3 Oktober 2009, di atas busway yang membawa separuh hatiku pulang.
Kepada saudara-saudaraku di Padang, maafkanlah keegoisanku.



Template has been modified and taken from this site