Sunday, June 28, 2009

Mimpi Buruk

Teruslah membaca, kawan, atau lompatilah sampai paragraf empat.
Aku tak sedang menakut-nakutimu. Ini bukan cerita hantu.

Seorang teman bercerita bahwa tadi malam ia tindihan. Kau tahu apa itu tindihan?
Aku tak tahu, karena belum pernah mengalaminya.
Beberapa temanku acap mengalami peristiwa ini. Kata mereka, tindihan adalah suatu situasi menakutkan di mana tubuhmu tak bisa bergerak, berat seperti ada kekuatan yang menindihmu. Kekuatan yang berasal dari makhluk alam lain yang datang ketika kau sedang tidur.

Ada yang mengatakan bahwa yang datang ini adalah makhluk hitam besar yang mungkin bernama Genderuwo, atau seperti temanku tadi malam, ia didatangi oleh makhluk (mungkin) perempuan yang berwujud seperti manequin. Seksi, iya, tapi juga keras tak bernyawa tak bermata tak berhidung tapi bermulut yang berusaha menghisapmu seperti Dementor.

Kau tak bisa bergerak, tapi masih bisa berpikir.
Masih bisa memotivasi diri untuk bangun.
Masih bisa mengucap doa dalam hati.

Hanya mimpikah, atau betul-betul nyata ?
Entahlah, aku tak ingin terkesan sok jago dengan mengatakan bahwa itu cuma mimpi. Aku belum pernah mengalaminya. Dan aku juga tak ingin mendebat hal-hal di luar akalku, lebih lagi karena hal itu ada di luar kemampuan dan pengetahuanku.

Jadi lebih baik kita bahas masalah mimpi buruk saja, karena tadi malam pun aku bermimpi, mimpi yang bisa kukategorikan buruk.

A
pakah tadi malam kau juga bermimpi buruk? Iya?
Apakah kau terbangun, langsung terduduk di tempat tidurmu, berkeringat dan nafasmu naik turun persis seperti di film-film horor?
Apakah kau kaget seolah kau baru saja ditampar?
Ataukah kau tiba-tiba bangun dan matamu nyalang menatap langit-langit kamar?
Atau seperti aku, kau tersenyum dan menarik nafas lega?

Apa memangnya ketakutan terbesarmu sampai kau menyematkan label buruk dalam sebuah mimpi?
Bunga tidur. Kata orang tua zaman dulu, mimpi adalah bunga tidur, a
tau pun pengharapan yang berada jauh di belakang otakmu. Kata mereka juga, mimpi adalah visualisasi ketakutanmu.

Mimpi yang bisa kubilang buruk adalah mimpi bahwa hari ini aku harus masuk kerja, tapi aku langsung tersenyum menyadari bahwa ini hari Minggu.
Mimpi yang bercerita tentang pertengkaranku dengan seorang teman baik, dan kelegaan yang menyertai begitu aku bangun.
Mimpi tentang mantan pacar yang sudah punya pacar baru. Kalau yang ini aku memang was-was.
Atau mimpi bahwa aku sudah membuat marah orang tuaku. Aku bangun dengan ketakutan, tapi sungguh rasanya aku ingin menangis lega menyadari ternyata itu tak nyata.

Aku tak pernah ingat mimpi buruk lain, seperti yang sering diceritakan di film-film horor. Kecuali satu.
Mimpi tentang ular.
Kau belum tahu kan, aku phobia dengan ular.
Aku takut, jijik, ngeri. Gilo. Aku gilo.

Masalahnya, setiap aku mendengar ada yang menyebut nama hewan ini, setiap kali aku melihat gambarnya atau melihatnya di TV, ia selalu datang dalam mimpiku.
Dalam mimpi itu, aku selalu berada dalam satu ruang tertutup bersamanya. Entah satu entah banyak. Dan di luar sana, ada orang-orang yang selalu saja tak mau menolongku, sekeras apa pun aku menangis dan minta tolong.

Kata orang yang percaya mimpi, mimpi tentang ular, dikejar atau pun digigit itu artinya akan dapat jodoh.
Manalah kupercaya, sedangkan mimpi itu selalu membuatku takut, mengigau, dan kehabisan nafas sampai kadang aku harus dibangunkan.

Haih, apalah...
Yang pasti aku selalu bersyukur setiap kali bermimpi buruk, karena aku tahu bahwa itu hanya ada dalam tidur.

Monday, June 22, 2009

Uang Receh

Malam itu di angkringan Kali Code, aku berpura-pura menjadi melarat dengan menyantap nasi bungkus berisi lima sendok dengan lauk beberapa gelintir teri atau beberapa potongan kecil tempe, yang populer disebut nasi kucing, sebagai menu makan malam.

Bersama tiga orang teman, kami bercengkerama, berlagak menikmati kesahajaan menyebut diri membumi. Padahal yang sebenarnya adalah, kami hanya gagal mendapat tempat di angkringan ber-hotspot yang bernama House of Raminten.
Duduk lesehan di atas gelaran tikar, menyediakan receh untuk pengamen dan peminta-minta yang lalu lalang.

Lewat pengamen waria dengan dandanan seperti Dewi Perssik membawakan lagu "Ketahuan".
Lalu ada peminta-minta usia remaja yang berwajah murung.
Dan Nenek-Nenek yang berjalan tertatih-tatih, berucap, "Den, pareng, Den.."
Anak gadis bersuara lantang membawa ecrek-ecrek yang terbuat dari tutup botol.
Ibu-Ibu nyinden.
Pemuda gagah memetik gitar "Seize the Day" milik Avenged Sevenfold.

Sampai....
Lewatlah seorang anak perempuan berumur sekitar 8 tahun meminta uang makan.

Aku sudah terbiasa bertemu dengan mereka. Hatiku sudah terlatih untuk shock, tersentuh, dan merasa normal lagi di menit berikutnya.
Tapi di belakang gadis kecil ini, berjalan adiknya.

Kecil. Memakai celana panjang putih. Kepalanya ditutup rapat dengan kupluk jaketnya. Sepatunya pun rapat tertutup berwarna putih.

Masya Allah!
Umurnya tak lebih dari 2 tahun!
Siti Munawaroh namanya.

Anak itu seumuran Uwen!
Dan itu sudah jam 10 malam.
Pada jam itu Uwen pasti sudah tidur, hangat, kenyang, dicintai, banjir perhatian, masa depannya sudah dipersiapkan.

Tak jelas apa yang mendorongku meraih anak itu. Kupangku ia. Kudekap. Kucium.
Demi Tuhan. Dia masih kecil.

Ia menguap, dan kurasakan badannya mulai melemas dalam dekapanku.
Kemudian si Kakak menariknya, mengajak berkeliling lagi.

Ya Allah.
Ya Allah.

Selain uang kecil yang kuberikan untuknya, apa lagi yang bisa kulakukan untuk menghilangkannya dari bayangan mataku?!
Tolong!

Friday, June 19, 2009

Guilty Pleasure

Perih.

Tak kusangka melakukan suatu aktivitas yang begitu standar dan menyenangkan seperti makan bisa membuatku kena masalah. Bukan karena perutku menolaknya, bukan pula karena aku tak suka rasanya. Justru aku sangat suka, dan seperti semua kenikmatan lain, aku terus-terusan melakukannya sampai lidahku lecet dan bibirku terasa asin.

Makan kwaci.
Kau masih ingat kan, cemilan ini begitu populer waktu kita kecil. Aku tak tahu kandungan gizinya, yang kutahu hanyalah bahwa makan kwaci ini begitu mengasyikkan.
Lama aku tak pernah lagi makan kwaci. Kemarin, tiba-tiba aku melihat di atas meja makan ada sebungkus besar kwaci biji bunga matahari. Seketika aku menyambarnya dan berkumpul bersama orang rumah sambil tak henti-henti menelateni kwaci, mengabaikan hal lain yang membutuhkan perhatian kami, sambil cekikikan menghitung kegembiraan kami pada kesenangan yang lugu ini. Semacam nostalgia, kami tak henti-henti bercerita tentang pengalaman makan kwaci ketika kecil, dan hal itu merembet pada cerita lain.

Ukurannya tak lebih dari kuku jari kelingking, penampilan luarnya kisut dan jelek, dan isinya pun tak terasa istimewa. Malah mendekati hambar. Tapi entah kenapa cemilan ini begitu adiktif. Kata orang, karena diperlukan suatu usaha yang keras untuk bisa menikmati isinya, jadilah dagingnya itu menjadi sangat berharga.
Hm, definisi yang filosofis.

Memang perlu teknik tersendiri untuk memakan kwaci, tak asal buka dan telan saja. Teknik ini sepertinya secara alami kita pelajari waktu kecil dulu. Kombinasi antara menggigit dan menjulurkan lidah. Dan untuk melakukannya, dibutuhkan konsentrasi dan posisi yang mapan, tak bisa disambi dengan hal lain.
Ya, mungkin bisa, tapi hanya dengan satu tangan. Dan dengan separo perhatian tertuju pada kulit dan isinya yang berlomba itu, ada kemungkinan tertukar antara kulit dan isi sehingga bisa-bisa kita menelan kulitnya dan membuang isinya, bisakah kita, paling tidak, 80% mengerjakan hal lain?
Kurasa inilah pembeda kwaci dan cemilan lain.

Sekali memakannya, kita tak bisa berhenti. Baru terasa akibatnya bila mulut sudah jontor, dan saat itu pun, kita terus melakukannya sampai habis atau bila kita terpaksa harus melakukan hal lain.

Semacam guilty pleasure?

Jadi, apa guilty pleasure-mu?
Main internet tak sudah-sudah walaupun jam dinding menunjukkan jam 11 siang, sementara pekerjaanmu belum ada yang beres?
Melirikkan mata beberapa derajat dari pacarmu ke arah makhluk sexy itu?
Mengantongi sabun dan shampo hotel?
Nyolong mangga?
Nonton bokep?
Membatalkan puasa sebelum bedug Magrib?

Bila kau tanya aku, wah, daftarnya bisa menjadi sangat panjang.
Seingatku daftar itu sudah kumulai sejak aku masih 4 tahun, ketika setiap hari aku membuang susu yang harus kuminum ke petak bunga. Aku merasa bersalah, tapi juga ada rasa senang yang aneh ketika aku berpikir aku bisa mengelabui orang tuaku.
Mana pernah aku menyangka waktu itu, bahwa Ayahku yang setiap sore menyiram tanaman bisa melihat kenapa bunga-bunganya bisa berwarna putih.

Tentu analoginya tak terbatas, dan contohnya bisa diperlebar.
Tapi untuk sementara ini, kwaci inilah yang begitu menyentuhku. Karena aku masih tak bisa berhenti walaupun sudah lecet, separo jontor, dan perutku menggelegak karena belum diisi nasi sejak siang.

Bahkan sekarang pun, asal kau tahu, membutuhkan waktu yang lama untuk menuliskan cerita sederhana ini, karena aku melakukannya sambil makan kwaci.
Atau makan kwaci sambil menulis?

Ups,
Tertukar lagi, aku lagi-lagi menelan kulitnya dan membuang isinya.
Makan kwaci itu memang tak boleh diselingi dengan kegiatan lain.



Wednesday, June 17, 2009

Penyakit Hati


“Sakit hatiku, Muzda. Tega dia nusuk aku dari belakang."

Hati yang sakit apakah obatnya ?
Waktu.
Tak ada penawar yang lebih ampuh lagi.

“Aku patah hati .... Muzda tolooong. Rasanya mau gantung diri saja.”

Patah hati ?
Patah jadi dua atau pun remuk berkeping-keping, selalu ada lem pelekat yang bisa menyatukannya lagi.

“Hancur, hancur hatiku. Hatiku hancur."

HanTu ?
Oh, Olga terlalu hancur rupanya, sampai cuma dua kata itulah yang bisa diucapkannya.
Apakah ia bersedih terus-terusan ?
Tidak. Olga lebih banyak tertawa. Karena siapa bilang hati yang hancur itu selamanya? Ia bisa direbuild dengan teknik yang tak pernah kita pelajari.

Hati itu juga kasihan, ia bisa jatuh.
Jatuhnya sering membuat orang tertawa dan juga menangis sekaligus.

Bohong besar bila hati sakit sampai berdarah, kita bisa mati.
Apa lagi bila nestapa ini disebabkan oleh jenis cinta yang hanya dipandang dari sudut yang sempit. Cinta kepada lawan jenis?

Haih, mati sajalah sudah.

Ya, aku memang pernah mengaku patah hati. Siapa pula yang tidak ?
Tapi aku tak percaya pada rumus patah hati sampai mati.

Biar kuceritakan pengalaman masa remajaku yang dulu masih memandang dunia sebagai tempat berwarna merah muda. Di suatu waktu aku tiba-tiba berteriak ketika mendapati bahwa dunia itu bisa berubah menjadi kelabu.

Orang tuaku mengatakan, sakit hati yang dulu kurasakan itu tak akan membawaku mati. Tapi ada penyakit hati yang bisa membuat jalanmu mulus ke neraka.
Aku masih ingin ending yang bahagia ketika itu, seromantis yang bisa dibayangkan anak perempuan berumur 14 tahun. Aku memutar mata mendengar petuah ini, maka kemudian aku dihadiahi sebuah buku kecil yang berjudul “Penyakit Hati.”

Satu-satunya buku yang kuterima dengan hati yang tak segembira biasanya.

Waktu itu aku sungguh ingin membaca tentang Putri yang dijemput oleh Pangeran. Aku ingin membaca tentang betapa seorang gadis bisa menemukan cinta lain. Aku ingin dihibur dengan mengetahui bahwa di sana selalu ada anak laki-laki lain yang lebih hebat, yang bisa membuat cemburu cinta pertamaku ini.

Tapi di buku itu hanya ada bahasan tentang iri, dengki, dan dendam.
Kesombongan dan takabur.
Pamer dan kelicikan.

Itulah katanya penyakit hati yang sebenarnya, yang akan benar-benar membuatmu berhenti hidup sebagai manusia.
Sekarang aku tahu, sakit hati yang ada di lagu-lagu cengeng itu hanyalah bualan saja.

Aku juga percaya, siapa pun yang yakin bahwa ia tak punya penyakit hati, itu bohong.
Apalah itu selain kesombongan ?
Dan bukankah Narcissus memang pernah hidup?

Dengan menuliskan ini pun berarti aku telah menunjukkan penyakit hatiku.
Aku hanya tak tahu seberapa parahkah ia menggerogoti, karena sampai sekarang buku itu tak pernah tuntas kubaca.

Wallahu'alam.

Sumber foto

Tuesday, June 16, 2009

Gosip Maling

Kampungku gempar semalam, katanya ada maling.
Dan rumahku gempar tadi sore, karena kami baru mendengar ceritanya hari ini.
Jangan tanyakan kenapa kami baru tahu ini tadi, karena aku pun yang masih bangun pada jam 2 malam waktu kejadian itu, tak mendengar apa-apa.

Kami di kampung ini
-rumah ini ada dalam gang, ingin kusebut kompleks tapi ya bukan- tak pernah punya kejadian yang heboh-heboh betul, dan aku pun memang tak begitu peduli dengan gosip tetangga. Seringkali aku hanya menjadi pendengar ke sekian dari mata rantai gosip ini, hingga selalu di mana pun aku berada, aku adalah orang yang terakhir tahu.

Aku baru tahu pohon mangga yang sering kucolong di kebun tetangga itu ditebang, padahal pohon itu ada di belakang rumahku. Jangankan itu, siapa Ketua RT yang baru pun aku tak tahu, jadi wajar sajalah bila pemilu kemarin itu aku tak terdaftar. Dan aku juga baru tahu ini, bahwa rumah tetangga di sebelah itu semalam hampir dimaling.

Katanya, malam itu sekitar jam 2, si Mbak penjaga rumah mendengar ada suara seperti menggaruk-garuk di dinding. Dan ketika dicek, ia melihat ada tangan terjulur lewat lubang angin di atas pintu.
Kontan si Mbak berteriak dan langsung menghambur keluar rumah. Menurutku tindakan ini adalah refleks Si Mbak yang luar biasa berani, karena ia lupa untuk berpikir bahwa mungkin saja si calon maling itu adalah orang kejam dan berkawan, yang bisa saja berbuat sesuatu yang bisa membuat Si Mbak untuk terpaksa diam.

Untunglah, di luar, Si Maling sudah tak kelihatan, mungkin kaget dengan teriakan Si Mbak. Kemudian beberapa warga kampung yang ronda dan pemuda yang biasa nongkrong mendengar keributan. Entah apa alasannya, padahal tak ada yang sempat dicuri, mereka memanggil polisi. Tiga sekaligus yang datang!

Aku tak tahu persis kejadiannya bagaimana, tapi katanya, di antara kerumunan itu rupanya sudah sejak awal si maling menyaru menjadi orang yang ikut penasaran dengan keributan itu. Ia bahkan bertanya, Ono opo tho Kang, kok ribut-ribut?”
Tak ada yang curiga pada maling berperawakan kecil ini, padahal wajahnya tak familiar. Dan baru terpikir sekarang, kenapa ia sebagai orang luar berada di kampung sini pada jam 2 pagi?

Maka saat itulah, entah karena analisa yang memang hebat ataukah hanya karena ia sudah begitu sering berhadapan dengan kasus serupa, seorang polisi melihat ada bekas putih di kaki si maling, yang menandakan bahwa ia baru saja memanjat dinding rumah tetanggaku itu dalam usaha menggapai lubang udara.
Tertangkaplah ia, dan berikutnya ditemukan beberapa bukti yang memberatkan.

Kisah selanjutnya di kantor polisi ?
Ah, tak usahlah kuceritakan, kau toh sudah tahu.

Saat aku mendengar kejadian ini, tanpa kukehendaki aku merasa kagum pada kerja si polisi. Hanya dia yang menyadari ada keganjilan di kaki si maling. Orang-orang lain mana sadar, paling hanya ada yang sok-sokan tahu ketika si maling sudah tertangkap, bahwa katanya dia sudah dari awal curiga.
Bah, gayanya saja kuat.

Membayangkan bagaimana cara kerja polisi itu, aku langsung teringat dengan Hercule Poirot dan Conan, dua detektif yang punya kemampuan analisa yang mendalam meskipun mereka hanyalah tokoh fiktif.
Conan hanya perlu menghubung-hubungkan fakta ganjil, dan setelah itu ia akan meminjam suara Detektif Mouri. Atau favoritku Hercule Poirot, yang tak peduli pada sidik jari ataupun bukti yang jelas berupa pistol di lemari baju, misalnya. Poirot berkata, temukanlah fakta dan singkirkan opini. Buatlah pembeda antara keduanya.
Dan dari sana, walaupun telah diputar-putarkan sampai ke beberapa negara sekalipun, sel-sel kelabunya akan menemukan jawaban teka-teki itu tepat di hadapan mata.

Terberkatilah orang yang punya analisa yang kuat, atau mungkin dalam hal ini kepekaan dalam melihat suatu kejadian atau keadaan yang tak biasa.
Aku tak berbakat di sana.
Aku ini tak peka, kecuali untuk hal-hal yang menjadi perhatianku, dan parahnya itu sedikit sekali.
Memang susah untuk menjadi orang yang terlalu asyik dengan dunia sendiri, sampai tak peduli ada tetangga yang disambangi maling, padahal saat itu aku sedang berkutat dengan komputer di kamar.
Jaraknya hanya dua bukaan pintu, tapi aku tak mendengar apa-apa.

Saat aku mengungkapkan keprihatinanku pada tetangga sebelah, seorang tetangga lain menyelutuk, “Piye tho Mbak, kok bisa ketinggalan gosip hangat.”
Aku hanya menyeringai. Susah menanggapi orang bergosip. Mau bilang aku tak suka bergosip, kok ya kedengarannya kasar. Aku ini kan pendatang, belum genap 3 tahun aku di sini. Apa pula lah nanti kata mereka, sedang pulang kerja jam 12 malam pun aku pernah digunjing.

Haiyah …

Memang aku tak peduli gosip, tapi sebenarnya aku tak tahu, apakah aku ini tak suka gosip atau hanyalah tak peka.
Entah kenapa orang-orang di sekitarku bisa membuat perbedaan keduanya hanya setipis tirai jendela, sampai pernah aku dihinggapi satu jenis rasa aneh yang mendekati malu ketika suatu saat aku bertanya siapa nama istri Pasha, dan aku dijawab bahwa mereka sudah bercerai.
“Huu, dasar ketinggalan zaman.” Kata temanku waktu itu.

Heh?! Sejak kapan tak tahu gosip artis itu dianggap ketinggalan zaman?

Saturday, June 13, 2009

Diet ??

Serba salah.
Gemuk salah. Kurus salah.

Setiap kali aku bertemu dengan teman lama, mereka hampir selalu berkata, “Kok sekarang jadi kurus begitu?”
Atau bila bertemu orang baru, “Kamu diet apa? Bagi-bagi rahasia dong.”

Astaga!
Aku tak pernah berdiet. Sumpah.
Entah itu untuk diet kesehatan, atau diet menguruskan badan.
Lagi pula entah kapan kata diet ini mengalami pergeseran makna. Bukankah sejatinya diet itu berarti pengaturan pola makan, dan bukannya menahan makan?

Kukatakan padamu, aku kurus begini karena ada yang salah di sistem pencernaanku.
Bukan maag bukan apa. Entahlah apa namanya.
Dokter yang pertama bilang ada infeksi di saluran pencernaan. Dokter yang kedua malah cuma mengatakan dua hal ketika kutanyakan apa masalahku, yaitu apakah aku tak pernah makan ataukah badanku memang terdiri dari tulang semua. Katanya pencernaanku busuk.
Tega betul Dokter itu.

Aih, memang cetakannya begini.
Lagi pula aku bingung, bagaimana mungkin aku bisa kena masalah pencernaan bila makanku banyak?
Setelah diingatkan lagi tentang pola makan yang sehat, baru aku sadar bahwa makanku tak berpola, bahwa aku makan sungguh seperti yoyo.

Aku dikenal sebagai cewek yang makannya banyak.
Aku biasa makan dengan porsi besar seperti kuli yang tak bertemu nasi tiga hari tiga malam.
Tapi kadang bila asyik dengan satu kegiatan atau banyak pikiran, seharian aku lupa makan. Dalam arti sebenarnya, aku lupa memasukkan makanan ke perut, walaupun cuma sepotong kecil tempe atau seremah roti.

Contohnya saat aku mengebut pekerjaan. Atau menikmati sebuah buku yang bagus. Kadang aku bahkan lupa makan bila terlalu asyik ber-internet. Dan internet yang kumaksud di sini adalah facebook dan blogwalking dan chatting, dan hanya sedikit browsing. Memalukan.
Aku pun otomatis tak makan bila patah hati, aku tahan cuma hidup dengan kopi saja.

Setelah kuceritakan ini pada Dokter yang tega itu, dia hanya menyeringai sinis.
Tak perlu menunggu keterangannya pun, aku tahu apa jawabannya bahkan ketika ceritaku belum selesai.

Jadi, jangan pernah sekalipun bilang aku berdiet.
Aku benci! Aku benci bila ada orang yang bilang aku diet.
Aku kurus bukan karena tak makan. Aku kurus hanya karena pencernaanku busuk.

Aku sungguh mati ingin menggemukkan badan.
Sudah kucoba "semua" obat dan jamu yang kutahu supaya bisa gemuk. Obat China, herbal, susu, jamu beras kencur, totok atau apalah itu.
Yang ada makanku malah tambah banyak, selalu lapar, dan selalu mengantuk. Bawaanya cuma mau makan, tidur, bangun makan lagi, kenyang tidur lagi. Begitu terus sampai bosan.
Tak jua gemuk.

Sudahlah.
Pertama karena memang pencernaanku ini busuk, lagi.
Dan kedua, karena memang aku sudah mentok sampai ukuran begini.

Itulah makanya aku tak paham, kenapa ada yang rela-rela diet ketat, tak makan nasi, olahraga sampai semaput, operasi puluhan juta, hanya supaya bisa melihat angka timbangan berkurang.
Kau tau apa yang kulakukan??
Aku juga menghindari timbangan. Bila tiba saat aku menimbang badan, kulonjak-lonjakkan tubuhku seolah ingin mengagetkan si jarum timbangan agar ia mau bergerak ke kanan barang dua tiga angka.
Tak ada hasil.

Untuk apa teman, kau ingin kurus? Aku saja ingin gemuk.

*BUZZ*

???!!

Telingaku baru saja terasa disentil dengan keras.

Apakah aku baru saja memprotes mereka yang ingin menurunkan berat badan supaya bisa mendapatkan bentuk tubuh ideal ?
Bukankah selama ini obsesiku ingin gemuk itu pun dalam rangka mendapatkan bentuk tubuh impian ?

Ohh, aku telah berbuat salah.
Betapa sempit pandanganku.
Maafkan bila kata-kataku ini menyinggungmu. Rupanya memang di mana-mana sama, apa pun jenis keluhannya, rupanya kebanyakan wanita memang tak merasa cukup dengan bentuk tubuhnya, eh?

Aku pun begitu.
Aku begitu.

Tapi, oh .. izinkan aku bicara sekali lagi.
Berhentilah berusaha menjadi kurus.
Nanti kau akan seperti aku. Sungguh kurus itu tak enak.

Saat berjalan di tengah hujan lebat, payung yang kaugunakan untuk melindungimu cuma akan menarikmu dan kau berasa benar-benar akan diterbangkan angin.
Kau akan kesulitan mencari baju dengan ukuran XS.
Tetanggamu di kampung akan berkata bahwa kau terlibat dengan narkoba.
Malah ada Ibu-Ibu yang meragukan aku kelak bisa melahirkan secara normal mengingat ukuran pinggulku.

Tak enak.
Benar.
Sejak Si Dokter yang kejam itu berkata pencernaanku busuk, aku berhenti membayangkan punya tubuh yang semlohay dan berisi. Aku (berusaha) meyakini bentuk tubuhku ini ideal.

Tak apa orang bilang bahwa aku dan ukuran miniku ini tak menggoda laki-laki.

Aku dan kau istimewa, bukan begitu ?
Coba saja tanya pacar atau suamimu. Bila ia berkata sebaliknya, bahwa kau tak sempurna, ingatkan saja dia tentang perut gendutnya atau pantat teposnya.

Masih saja tak percaya kau istimewa ?
Tanyakan pada Ibumu, sana.

Tuesday, June 9, 2009

Uwen Uwen

Sejak ada keponakan kecil ini, Uwen,
(pengucapan nama Aurell, meniru lidah kecilnya),
aku jadi begitu tertarik memperhatikan bahasa dan perasaan bayi.

Semasa ia masih dalam perut, kami sekeluarga bersepakat

untuk tak ikut-ikutan cadel bila bicara padanya demi membiasakan lidahnya untuk bicara dengan jelas.
Oleh Mamanya, tak seorang pun boleh bicara dalam bahasa bayi, misalnya cucu untuk susu.
Toleransi cadel satu-satunya hanyalah dalam menyebutkan namanya saja, Uwen.

Hal yang menarik saat bicara dengan bayi adalah ketika mendengar kata-kata imut terlontar dari mulut kecilnya. Rasanya memabukkan dan merdu, ketimbang mendengar pengucapan (sok) imut dari mulut orang (perempuan) dewasa yang mencoba menyebut sakit dengan atit, atau takut dengan atut.
Yekz ...

Tapi walaupun sudah dari ia lahir aku tinggal bersamanya, telingaku ini masih saja belum terlatih. Aku mencatat ada beberapa kekeliruan fatal saat berkomunikasi dengannya.

Kekeliruan pertama dan terbesar, waktu itu Uwen baru berumur 1 tahun 7 bulan. Suatu pagi, ia masuk ke kamarku. Saat itu aku sedang berdiri membaca-baca di depan rak buku.
"Tante, Tante." Panggilnya dari belakangku.
"Ya...?" Jawabku tanpa berpaling ke arahnya.
"Tuit, Tante. Minta tuit."
"Haa...?!" Aku menolehkan kepala, tapi tetap tak membalikkan badan.
"Uwen minta tuit, Tante." Katanya sambil menarik-narik saku jeans-ku. Ia menarik secarik kertas kecil yang kuselipkan di sana entah kapan.
Aku berpaling, "Tuit?"
"Tuit." Ia mengangguk.
"Duit? Buat apa Uwen minta duit?" Aku kaget.
"Tuit, Tante."
"Buat apa?"
"Ajan."
"Yayang minta duit buat jajan?!"

Aku terkesiap lebay.
Uwen balas memandangku dengan tatapan aneh.

Tanpa bermaksud mengadu, dengan bersemangat aku mencari Mamanya.
"Kran, Uwen kok udah bisa minta duit? Katanya buat jajan?!"

Kakakku, Krany, tak kalah kaget. Lalu...
"Uweeen, @^*%^*?<"^:}{(%&)@%"

Uwen diinterogasi ulang oleh Mamanya, dan ia masih menjawab sama, "Minta tuit, buat ajan."
Ia hanya mencemberutiku, dan memandang Mamanya dengan aneh ketika Kakakku ini berceramah tentang anak kecil yang belum pantas tahu duit atau jajan. Ditambah lagi raut mukanya menampakkan kebingungan yang sangat tatkala ia ditanya siapa yang mengajarinya minta duit. Ia tak mau mengaku, dan masih saja cemberut. Alhasil sebuah sentilan mendarat di telinganya. Hebatnya, ia tak menangis.

Aku kedengaran jahat, kan?
Oh, belum.
Tunggu sampai kau dengar cerita lanjutannya.

Beberapa hari kemudian di pagi yang lain, Uwen ke kamarku lagi. Ia menunjuk sesuatu di atas lemari kecilku dan berseru.
"Tuit, Tante. Uwen mau ajan."
"Duit?"

Lagi?
Dalam hatiku, setelah diberi pelajaran ia tetap meminta begitu?
Aku penasaran, sesuatu di kepalaku memberitahu bahwa ada yang salah. Aku mengambil uang logam 500 perak dari atas lemari itu dan kutunjukkan padanya.
"Ini?"
"Itu, tuit." Jawabnya, sambil terus menunjuk ke atas lemari.
Aku makin penasaran, sambil terus mengacungkan uang logam itu aku bertanya lagi, "Kalau ini namanya apa?"
"Uam." (= uang)
Kuambil uang lembaran 5000-an, dan kutanya lagi, "Kalau yang ini?"
"Uam."
"Terus yang Uwen minta apa, Yang?"
"Tuit, Tante. Itu."

Kugendong ia mendekati lemari, dan kutanyakan barang apa yang dimaksudnya. Ternyata, yang ditunjuknya adalah pulpen dan kertas.

Oh My God!
Jika ada yang namanya fitnah anak kecil, maka aku telah melakukannya.
Ternyata.
"Minta tuit, Tante, Uwen mau ajan."
sama dengan,
"Minta tulis, Tante, Uwen mau belajar."

Ah, sayangku. Maaf.
Langsung aku mengadu pada Krany, dan ia pun bereaksi sama, langsung memeluk cium dan minta maaf pada anaknya.
Bagaimana reaksi Uwen?
Biasa saja, ia bahkan terlihat bingung kenapa kami dengan heboh memeluknya dan berkata maaf.

Mungkin dalam hatinya ia berkata, "Aneh betul orang besar ini, apa-apa dilebih-lebihkan. Aku cuma mau belajar saja, yang adalah hal baik dan menakjubkan, malah dimarah."

Entahlah.
Apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Apa yang ia rasakan?

Inilah misteri yang masih juga selalu membuatku penasaran.
Rasanya mudah untuk mengajarkan pada bayi tentang kata benda dan kata kerja. Tapi lebih sulit untuk mengajarkan pada mereka tentang kata sifat.
Bukan tentang sesuatu yang bernama biru hijau kuning pink.
Tapi sesuatu yang bernama capek, mengantuk, lapar, haus, dan ingin pipis.

Tentu setelah mereka semakin besar, lambat laun mereka akan mengerti.
Aku mencatat beberapa hal yang lucu sekaligus tidak menyenangkan menyangkut proses pembelajaran Uwen pada hal yang bersifat merasa ini.

Waktu ia masih bayi yang belum bisa bicara, tentu seperti bayi-bayi lain, Uwen akan menunjukkannya dengan menangis.
Lapar menangis.
Haus menangis.
Ngantuk menangis.
Basah menangis.

Sekarang ? Ia sudah bilang "mamam" bila ia lapar.
Ia bilang "menum" bila haus.
Ia pun akan merebahkan badan di kasur bila capek. Dan kadang mungkin bila sudah capek tak tertahankan setelah seharian bermain, berlari-lari, mundar mandir sekeliling rumah, meloncat-loncat di kasur, ia bahkan akan meminta, "Uwen mau pijit." Katanya sambil menyodorkan minyak telon.

Sewaktu Mamanya sedang mengajari pipis sendiri, nah, itu adalah perjuangan luar biasa.

Pertama-tama Uwen dilatih dengan tak lagi dipakaikan diapers.
Jadinya?
Crot sana, crot sini.
Tanyakan saja bagian rumah mana yang belum dipipisinya.
Tak bosan-bosan Si Mama bilang, "Kalau mau pipis, bilang, Uwen mau pipis."
Yang terjadi adalah, ia pipis dulu baru bilang.

Bayangkan saja, selama proses belajar selama berbulan-bulan itu, banyak teriakan, tangisan, dan juga tawa.
Mungkin saja ia bingung, bagaimana persisnya perasaan ingin pipis itu. Bagaimana caranya menahan agar bisa bila bilang pipis lebih dulu sebelum terkucur betulan.

Kukatakan padanya, sambil menyentuh bagian agak di bawah perutnya. "Yayang, kalo perutnya berasa nyeri, cekit-cekit di bawah sini, kaya' ditekan begini, itu namanya mau pipis."

Ya, ia memandangku dengan tatapan aneh itu lagi, tapi kusimpulkan ia sedang mencerna, atau malah heran untuk apa Tante ini menekan-nekan bagian bawah perutnya.

Beginilah kira-kira yang namanya "Tatapan Aneh Uwen".
Wonder dengan apa dimaksud orang-orang besar ini padanya.

Anyway, pada usia 1 tahun 2 bulan, ia sudah bisa dengan sukses bilang pee-pee sebelum pipis beneran. Setelah selesai dengan urusan ingin pipis, ada masalah baru lagi, ia belum bisa membedakan pee-pee dan pup.

Kuberi tahu ia, "Kalau pee-pee itu rasanya nyeri, Yang, perut kayak ditekan. Tapi kalau mau pup, perut rasanya sakit."
Dan beberapa hari kemudian, ia sudah fasih bilang, "Cakit puwot." (= sakit perut).

Nah, yang masih menjadi masalah sekarang adalah perasaan mengantuk.
Uwen ini seperti tak rela bila ia harus tidur. Dari bayi baru lahir, ia selalu mengamuk bila mengantuk. Menangis dulu, rewel dulu baru tertidur sendiri.

Kami berkesimpulan, ia tak tahu apa yang harus dilakukan bila mengantuk, atau apakah sebenarnya perasaan mengantuk itu.
Jadi kami sering sekali memberitahunya.
"Kalau kepala rasanya goyang, kliyengan, itu namanya mengantuk, Yang."
"Kalau matanya berat, itu namanya mengantuk."

"Dan kalau mengantuk, Uwen tinggal merem. Pasti sembuh. Jangan nangis."
"Kalau mengantuk, bilang, Uwen mau susu, Mama. Uwen mau bobo, Mama."

Ya, seperti biasa reaksinya hanyalah tatapan aneh itu. Itu kalau sedang beruntung, kalau tidak, ia terus menangis.
Dan kucatat, hal itu masih menjadi problem sampai malam ini.

Perasaan bayi?
Kesulitan bayi untuk mengungkapkan bagaimana perasaannya?

Bagiku, rasanya menyenangkan bicara padanya. Walaupun tak bisa berkomunikasi secara sempurna, tapi ia selalu mendengarkan. Dan tak seperti ketika bicara dengan (tak semua) orang dewasa , Uwen selalu jujur.

"Sisir Tante mana, Yang?"
"Ndak, Tante, Uwen ndak sisin." (= Ndak, Tante, Uwen gak pake sisir)

"Pulpen mana ya?"
"Di kaman Tante." (= Di kamar Tante)

"Yayang, Tante stres."
"Cetes? hihiii..."

"Uwen sayang gak sama Tante?"
"Cayang."

"Yang, Tante cantik apa jelek?"
"Jeyek."




Di taman pintar, supaya pintar

:)

Dan ini bukan kado ulang tahun Uwen yang kedua.
Itu masih 1 bulan 6 hari lagi.

Sunday, June 7, 2009

I'm Upset

Kemarin ini, seorang teman di kantor tiba-tiba menjadi sangat rajin. Seolah pekerjaannya tak cukup banyak, ia pun mengambil alih tugas office boy. Mencuci piring, menyediakan minum, dan mengepel lantai.
Apa pasal ?
"Aku stres, Mbak. Kalau stres aku bersih-bersih."

Aku jadi ingat Monica di Friends,
"When I'm upset, I clean."

Kok bisa?
Memang I'm not a domestic goddess, tapi bagaimana pun, di telingaku bersih-bersih saat sedang stres atau BT ini terdengar lucu. Bagiku justru kebalikannya, kegiatan bersih-bersih itulah yang membuatku upset.

Beberapa orang, termasuk Mamaku, melampiaskan stres pada makanan. Aku sering sekali bertemu teman yang punya kecenderungan begini. Bila banyak pikiran, maka ia tak berhenti makan. Mulut rasa ingin mengunyah terus, padahal perut sudah seperti mau meletus.
Aih, beruntungnya mereka.
Kau tahu apa pengaruh stres pada selera makanku ?
Hilang sama sekali. Aku tahan hidup cuma dengan kopi saja, yang tentu makin menambah kacau sistem pencernaanku.

Jadi apa yang kulakukan ketika aku stres?

Seminggu ini, aku banyak menerima pertanyaan.
"Are you okay?"
"Baik aja kah kabar?"
"Kamu kenapa?"

Hey, I'm okay. What makes you think I'm not?
Itu yang kujawab. Aku baik-baik saja.
Benarkah demikian?

Aku ingin sekali mempercayai bahwa aku baik-baik saja. Tak ada yang sedang bergejolak di hidup dan emosiku sekarang.
Aku tak sedang marah atau sedih atau apa.
Tapi aku tahu, aku kenal sekali dengan kecenderungan ini.

Setiap kali, ketika ada yang sedang mengganggu di kepalaku, maka pikiranku jadi melantur dan kata-kataku meloncat ke mana-mana. Itu terjadi bila tingkat emosiku sedang berada di bawah atau di atas batas normal. Aku menyebutnya low or high tension situasion.
Ciri-cirinya, mulutku tak berhenti bicara dan bertingkah aneh lain dari biasanya.
Begitu caranya aku tahu aku tak sedang baik-baik saja.

Saat ini, mulutku benar-benar tak terkontrol. Kata-kata yang kutulis pun tak beraturan.
Aku mengomentari TV dan surat kabar. Mengkhayalkan konspirasi pelarian Manohara sampai tujuan Obama berpidato di Mesir. Aku mengomeli Titi Kamal di Muslimah dan memuja Ridho Rhoma.
Mengerti maksudku ?

Suatu hari, aku mendengar lagu Menunggu ini jadi backsound sebuah acara TV. Tanpa basa-basi aku mendownload lagunya, dan membuat mabuk seisi rumah. Isi playlist winamp-ku cuma satu lagu itu, dan aku menyanyikan (meneriakkan) lagu itu sampai tenggorokanku meradang.
"Kenapa selera musikmu terjun bebas dari Linkin' Park ke Ridho Rhoma?"
atau,
"Mendengarkan musik metalmu yang biasa itu memang bikin mumet, tapi yang ini bikin aku mau muntah-muntah."

Mereka bilang begitu.
Haa ?! Segitunya ...
Kemarin ketika aku dan seorang sahabatku sedang di toko sepatu, aku tertarik mencoba sepatu berwarna bukan biru biasa. Dengan percaya diri, kutunjukkan pada sahabatku ini, dan katanya,
"Bagus. Cocok sama selera musikmu yang sekarang."
"Menyet!"

Hey, Ridho Rhoma itu memang anak Rhoma Irama, tapi musiknya bagus. Memang kenapa kalau aku jadi menyukai dangdut? Dangdut itu musik kita. Lagi pula fakta itu hanya menegaskan bahwa selera musikku universal.

Aku jadi agak tersinggung juga, ketika tadi malam di angkringan Tugu, aku ditertawakan oleh penyanyi jalanan hanya karena aku me-request lagu itu, Menunggu. Mereka malah dengan bangga menyanyikan lagu Hijau Daun untukku.
Heks!

Lebih baik mabuk dangdut kan, dari pada aku membuat BT orang lain hanya karena aku BT ?
Aku punya istilah juga untuk kondisi itu.
"BT-nya dia bikin BT orang."
atau,
"BT kok ngajak-ngajak."

Kau tau kan, apa yang kumaksud.
Iya. kau pasti pernah bertemu dengan mereka.

Orang yang bila BT atau stres lalu bawaannya marah-marah. Semprot sana semprot sini. Semua salah, serba salah. Ibarat landak saja, bergerak kiri kanan malah cuma menancapkan duri ke mana-mana, menyerang semua yang ada di sekitarnya. Sampai semua terkena getah bad mood-nya.

Untunglah aku tak begitu. Atau kupikir, aku tak begitu.
Setelah tepat seminggu kubuat orang rumahku mabuk dangdut, aku bertanya pada Kakakku tentang penyakit dangdutku ini, persis seperti kata Monica di Friends season 7 episode 2, The One With Rachel's Book.
"When will it start getting annoying?"
"Start ?"

Hey, dia tak pernah mengikuti Friends, dari mana dia tahu dialognya persis begitu?
Ufh, hu huu ...
Aku tahu diri. Jadi, aku harus mengerem mulutku sendiri sekarang, berhenti menyanyikan lagu itu, menghapusnya dari play list, dan memindahkannya ke sini.
Keren lho, modelnya VJ Marissa. Tapi saranku, dengarkan saja lagunya, jangan perhatikan rupa penyanyinya.



PS :
Kalian nikmati sajalah lagu itu, dan ini yang sedang kunikmati sekarang di play list-ku :


Duh Denok gandulaning ati, tegane nyulayani
Janjimu sehidup semati, among ono ing lathi

Rasa sayangmu sudah pergi, tak menghiraukan aku lagi
Duh Denok gandulaning ati, tegane nyulayani

Duh Kangmas jane aku tresno, lilakno aku lungo
Ati rakuat nandang roso, roso keronto-ronto
Cintamu sudah gak beneran, aku cuma buat mainan
Duh Kangmas jane aku tresno, lilakno aku lungo

Tresno iki dudu mung dolanan, kabeh mau amargo kahanan
Seng tak jaluk amung kesabaran, mugi Allah paring kasembadan

Mung ngadem atiku, ben aku ra mlayu
Dan tanggung jawabmu, iku palsu

Denok aku cinta beneran, pasti kan kubuktikan
Bapak Ibuku akan datang, melamar dikau sayang

Hatiku slalu mendoakan, semoga Tuhan mengabulkan
Cinta kita tak terpisahkan, sampai di akhir zaman


Hahaa ..
Ini yang namanya campur sari, kawan.
Jangan bilang kau ingin muntah, itu menghina.


Wednesday, June 3, 2009

Mengenang dengan Tertawa


Untuk setiap momen kesedihan dan kegetiran yang kualami bersama satu atau beberapa orang yang ada di hidupku, aku acap berkata, "Kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Oh, aku ingin sekali dibilang berpikiran positif.
Tapi yang kumaksudkan saat aku mengatakannya adalah, aku benar-benar ingin melewati bagian buruk dari momen itu, melupakannya untuk sementara. Kemudian saat teringat lagi, aku akan mengenang kejadian itu dengan tertawa dan berkata, "Kok bisa ya kita dulu begitu ?", atau, "Konyol banget ya kita dulu ?"

Pernah pada semester pertama kuliah, hidup jauh dari orang tua, ngekos, dan untuk pertama kalinya diberi keleluasaan untuk mengelola uang bulanan
sendiri, aku dihinggapi penyakit kalap dan lapar mata. Shock ini rupanya juga dialami oleh beberapa temanku, dan salah satu di antaranya adalah sahabatku semenjak SMA. Pada satu akhir bulan yang mencekik, kami menyadari bahwa kami tak punya uang untuk makan malam. Maka dengan segala ketololan, kami mencari-cari kemungkinan uang terselip di saku jeans, di kantung-kantung tas, di selipan buku, dan di sela lipatan baju.
Lumayanlah dapat beberapa perak.
Temanku itu sudah hampir menangis, lalu kuhibur ia dengan berkata, "Tenanglah, kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Dan sekarang, kami memang tertawa mengenangnya.

Ketika berada pada momen di mana aku harus mengakhiri suatu hubungan yang tampaknya akan berlangsung selamanya, aku juga berkata, "Kelak kita akan mengenang ini dengan tertawa."

Sekarang, kami mengenangnya dengan tertawa, sekaligus meringis bercampur jadi satu.

Mengenang dengan tertawa.
Aku ingat pernah mendengar atau membaca quote ini entah di mana.
Dan sejak itu, kuucapkan kata-kata ini sebagai mantra untuk menawar setiap golakan emosi yang kualami, hanya supaya pahit dan getir itu tak terasa
terlalu sakit.

Kuucapkan juga ini padanya, sebelum dia mengemas hidupnya dan mencoba mencari pengampunan dari kesalahan yang membekas permanen.
Kini bertahun sudah lewat, ternyata kami belum bisa tertawa. Kupikir untuk selamanya kami hanya bisa meringis mengenangnya.

Ternyata jampi-jampi andalanku ini tak cukup ampuh melawan penyakit yang satu itu.

Template has been modified and taken from this site